Ayahnya bernama Rudolf Watterdam. Semua orang pasti sudah mengenalnya melalui siaran televisi ataupun bertatapan muka secara langsung. Dia mirip dengan sang anak. Oh, tidak, si anaklah yang menyerupainya. Di usia yang menginjak kepala 5, badannya masih terlihat segar bugar. Tak terlihat banyak kerutan pada wajah tampannya itu.
Beliau memiliki seorang istri yang merupakan ibu tiri bagi putra kandungnya, Robert Affan Watterdam. Sedangkan ibu kandung dari anaknya itu telah meninggal saat Affan berusia 13 tahun. Pria tersebut sempat menolak kehadiran Trianka Vandershee alias ibu tirinya, layaknya seorang anak yang tak ingin posisi ibunda tercinta digantikan oleh wanita manapun.
Trian menginjakkan kaki pertama kali saat usia Affan 17 tahun. Tepatnya saat ia pulang dari latihan basket. Affan menunjukkan rasa ketidaksukaannya pada Trian secara terang-terangan. Bahkan jika ayahnya masih di kantor, Affan diperlakukan seenaknya oleh Trian. Namun, saat Rudolf ada di rumah maka ia bersikap sangat manis pada Affan. Tentu saja hal ini membuatnya tampak seperti serigala berbulu domba.
Putra tunggal dari suaminya terdahulu yang menceraikannya, sama persis sifat dengannya. Yap, dia berstatus janda saat Rudolf bertemu dengannya. Bahkan hingga detik ini ia tidak tahu alasan perceraian tersebut. Terlepas dari semua itu, putranya Efraim Sam Vander yang lebih tua 2 tahun dari Affan, terlihat angkuh dan sering memojokkan Affan dihadapan Rudolf.
Affan pun merindukan sosok Indah Sandrenatha Wijaya, ibu kandungnya. Teringat saat dulu Affan memasuki kamarnya dengan perasaan pilu yang sama setiap saat yaitu sedih dan remuk. Affan sering menyuapinya, membantu untuk berbaring, dan untuk ke kamar mandi. Indah selalu diam membisu. Dia hanya akan berbicara jika ia merasa itu hal yang sangat perlu. Dengan kursi roda yang selalu Affan tuntun kemanapun sang ibu mau pergi. Setidaknya, halaman rumah adalah tempat terjauh untuknya.
Kecelakaan yang dialami Indah membuatnya lumpuh dan suka berdiam diri. Hari-hari buruk terus berlanjut hingga ajal menjemputnya. Affan yakin sang ibu sudah tenang di sana.
00.17 a.m.
Affan yakin pasti ada banyak email penting yang menunggunya terkait perusahaan. Dengan sisa tenaga yang ada, dia mencoba mengumpulkannya.
Setelah selesai dengan urusan bisnis, tenggorokannya terasa kering. Saat itu pula ia beranjak dari tempat tidur dan membuka knop pintu. Tujuan utamanya adalah dapur. Tempat yang akan membuat tenggorokannya tidak kering lagi.
Affan pun mendengar bunyi televisi yang menyala. Kebiasaan saudara tirinya, barangkali, atau dugaan itu benar. Dia memilih untuk menunda niat untuk ke dapur dan berbelok ke arah kiri menuju ruang keluarga. Benar saja, ia melihat Sam tertidur pulas di atas sofa antik berwarna merah. Kebiasaan buruknya muncul saat terdengar suara dengkuran. Sedangkan tangan Affan dengan cepat menjulur, lalu mematikan televisi.
"Hei, Uci. Jangan pergi dariku," kata Sam mengigau. Kebiasaan buruknya yang kedua muncul.
"Kau tak tahu seberapa besar hasratku untuk memilikimu," kekehnya masih dengan mata tertutup. Jujur, Affan merasa malu mempunyai saudara yang playboy seperti dia. Bermacam-macam nama berbeda sering terlontar dari mulutnya. Hingga kini entah yang mana gadisnya yang sesungguhnya.
***
08.53 a.m.
Sontak pria itu terbangun. Dia terlambat hari ini. Biasanya, Bi Ana, pembantu satu-satunya pasti akan membangunkannya lebih awal dan tepat waktu. Affan lupa bahwa beliau pulang kampung semalam.
Setelah mengeratkan ikatan dasi, Affan melangkah gagah keluar dari kamar. Dia mengambil beberapa lembar roti tanpa memberinya olesan selai cokelat ataupun kacang. Dia tak menyukainya, kecuali Sam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Storm
Romance(COMPLETED) (REVISION) Aku mencintai dirimu yang sederhana. Berharap kesederhanaanmu membawaku menuju pintu hati yang selama ini kau tutup rapat. Tapi, bukankah kau harus membuka pintunya dulu agar aku bisa masuk? -Marryana Akhianka Zamoni Aku y...