Matanya hampir terpejam. Selimut telah menghangati seluruh tubuhnya. Tapi, ia belum bisa tidur semudah itu. Zamo teringat Affan. Setelah obrolan mereka dua hari lalu, hingga kini Affan belum menghubunginya.
Sayup-sayup terdengar bunyi bel. Dengan malas Zamo berusaha bangkit dan melirik jam di atas nakas. Sudah pukul satu dini hari.
Zamo berjalan mengendap-endap menuju pintu. Karena was-was, ia menggenggam setangkai sapu untuk dipukul ke kepala tamu yang mengganggu tersebut. Bisa saja Louis, bukan?
Ketika pintu sudah terbuka, semua sisi dari prasangka buruknya seketika lenyap. Sapu yang dibawa terjatuh ke lantai. Zamo tersenyum berseri dan memeluk tamu tersebut dengan penuh suka cita.
"Kenapa kau tidak bilang kalau datang? Kau juga tidak membalas pesanku."
Affan mengecup puncak kepalanya. "Maafkan aku, Zamo. Ini semua kejutan. Aku tahu kau pasti menantikan kedatanganku."
"Tidak. Aku tidak menunggumu pulang," dustanya sembari melepas pelukan dan segera berbalik. Namun, Affan menahan pergelangan tangannya. Dia menutup pintu dan membawa Zamo dalam pelukan.
"Kencang sekali, Affan. Aku susah untuk bernapas."
"Maaf, Zamo. Aku benar-benar gila selama 2 hari tidak bertemu denganmu. Untungnya besok libur. Aku bisa menemanimu sepanjang hari esok."
Zamo terkekeh. "Tunggu dulu. Aku buatkan minum."
Secara halus Zamo melepaskan lekukan erat lengan Affan dipinggangnya, tetapi Affan malah semakin mengencangkan pelukan. Bibirnya bahkan mengenai leher Zamo.
"Aku tidak haus. Bertemu denganmu membuatku melupakan semua rasa lelah."
"Tapi Affan..."
Zamo berbalik badan dan menatap wajah tampannya lekat-lekat.
"Pipimu terluka, Zamo! Bagaimana bisa?" Affan terlihat terkejut.
"Hanya luka kecil karena tergores kuku milikku," bohongnya.
"Tidak mungkin. Siapa yang melakukan ini padamu?!"
Affan mulai marah. Matanya berapi-api. Kehangatan yang awalnya tercipta sirna begitu saja.
"Tidak perlu marah begitu, Affan. Aku tidak apa-apa."
"Aku mau kejujuranmu."
Affan menatap Zamo penuh harap dan khawatir.
"Okay, aku akan jujur. Ini semua ulah Belinda."
"Bee? Apa yang dia lakukan padamu?"
"Setelah kau pergi, Bee langsung menarikku ke toilet. Dia bilang kau kekasihnya dan kalian segera menikah! Dia mengancamku dan mengatakan bahwa kau pasti jadi miliknya," jelas Zamo sambil duduk di atas sofa.
Reflek Affan memeluknya. "Kau lebih percaya dia atau aku? Come on, aku tidak mencintai siapapun selain dirimu. Dia hanya ingin membuatmu cemburu. Jangan hiraukan dia."
Zamo terdiam. Dia berusaha untuk sabar dan meledak-ledak di depan Affan.
"Aku mencintaimu, Zamo. Maafkan aku yang lagi-lagi gagal menjagamu," sambungnya hangat. Zamo mendongak dan mendapati sorot mata pria itu penuh penyesalan.
"Ini bukan salahmu," bela Zamo sambil tersenyum.
"Beraninya dia merusak wajah cantikmu. Akan kuberi dia pelajaran."
Zamo tersenyum geli mendengar celotehan Affan.
***
Aromanya mampu membuat siapapun lapar. Pria itu mendekat ke arah dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Storm
Romance(COMPLETED) (REVISION) Aku mencintai dirimu yang sederhana. Berharap kesederhanaanmu membawaku menuju pintu hati yang selama ini kau tutup rapat. Tapi, bukankah kau harus membuka pintunya dulu agar aku bisa masuk? -Marryana Akhianka Zamoni Aku y...