(25) Twenty Fifth

470 25 1
                                    

Resty POV

Ini sangat jauh di luar dugaanku. Ternyata, Pras merupakan kakak dari si brengsek Louis. Pras yang sangat lembut dan ramah, begitu berbeda dengan Louis yang kasar dan egois. Rasanya tidak mungkin, bukan? Oh my God! Bangunkan aku dari mimpi buruk ini!

"Bagaimana perasaanmu, Res?"

Aku tersentak dan berusaha mengulum senyum. Kejadian tadi malam sungguh tidak pernah terbayangkan.

"Kau tidak enak badan? Apa kita perlu pergi berobat?" kecemasan begitu terpampang jelas di raut wajah Pras.

"Aku baik-baik saja. Jangan terlalu memanjakanku."

"Pernikahan kita satu bulan lagi dan kau terlihat tidak bersemangat. Tentu saja aku rasa ada yang janggal. Apa kau menyesal menerima lamaranku?"

Seketika tawaku meledak mendengar dugaan Pras yang mengada-ada.

"Kau tidak perlu berasumsi seperti itu. Aku sangat bahagia denganmu. Aku hanya tidak habis pikir dengan takdir yang menimpaku," jawabku.

"Maksudmu?" tanya Pras bingung.

"Aku tidak percaya Louis adalah adikmu. Kalian..."

"Kami berbeda, begitu?"

Aku mengangguk dan tersenyum. Pras sangat mengerti bagaimana jalan pikiranku.

"Sebenarnya apa yang membuatmu tidak suka dengannya?" wajah Pras mulai serius.

"Sejujurnya aku sangat benci padanya. Kau tahu, dialah yang selingkuh dan meninggalkan Zamo, lalu kini kembali seenaknya. Aku juga tidak habis pikir kenapa Zamo mau menerima orang yang telah menanamkan benih luka padanya. Kalau aku berada di posisi Zamo, aku takkan sudi," jelasku sambil mengingat masa-masa terburuk sahabatku itu.

"Itulah yang aku suka darimu, Res," ujar Pras sambil mencubit pipiku.

"Aku sudah menjelaskan panjang lebar, tapi kau mengalihkan topik. Jangan goda aku saat aku bicara serius, Pras!" aku mengambek.

"Aku suka dirimu yang apa adanya. Kau tak sungkan menjelek-jelekkan adikku di hadapanku. Kau wanita yang jujur dan tidak berpura-pura saat bersamaku. Inilah yang tidak pernah aku dapatkan dari wanita lain. Aku semakin mencintaimu, Res," kata Pras yang meruntuhkan api amarahku.

Sembari mengatur detak jantung, Pras menciumku tepat dibibir. Alhasil, jantungku semakin tak karuan. Ini memang bukan ciuman pertama kami, tapi aku masih saja malu-malu.

"Dasar mobil sialan! Situasi seperti ini kau malah berulah!"

Aku terus mengumpat karena mobilku mogok di tengah jalan. Kalau jalannya ramai, aku bersyukur, tapi ini jalan yang sepi dan sudah tengah malam pula.

Aku baru saja kembali dari kantor. Aku sudah sangat lelah karena lembur hari ini, tapi mobilku malah memperburuk keadaan. Aku tidak tahu harus bagaimana pukul 01.00 a.m ini.

Aku mendengar mobil berhenti. Cahaya lampunya yang terang membuat hatiku membuncah gembira. Aku segera menghampiri mobil itu.

"Excuse me, Sir. Apa anda bisa membantu saya?"

Sang pemilik mobil pun membuka kaca jendela.

"Mobilmu mogok?"

Aku mengangguk dan memasang tampang kasihan. Hanya orang ini yang bisa membantuku di jalan sepi dan kecil seperti ini.

"Naiklah ke mobilku," suruhnya sambil tersenyum.

Aku menganga tidak percaya. Aku tidak bisa percaya begitu saja dengan orang yang baru kukenal. Senyum yang diberikannya memang manis sekali, tapi bukankah dia berusaha menggodaku dengan senyum itu? Apalagi ini Inggris, cukup identik dengan tindak kejahatan.

Perfect StormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang