(36) Thirty Sixth

360 20 11
                                    

"Tidak, tunggu!" cegah Zamo.

Seorang wanita tersenyum. Affan mau tak mau harus melepaskan cengkeramannya dari wanita tersebut. Kalau bukan karena Zamo, wanita tak tahu malu itu pasti sudah diseretnya.

"Apa yang kau maksud mantan pacar dan suami?" tanya Zamo diikuti menelan salivanya. Entah kenapa hati nuraninya berfirasat buruk. Namun, apapun jawaban yang diberikan Belinda, ia harus siap.

Seseorang yang Zamo tuju itu tertawa dan melirik sinis ke arahnya, "Aku dan Affan pernah berhubungan. Don't you remember?"

Affan sulit menerjemahkan raut wajah Zamo yang hanya membeku dan tak mengeluarkan sepatah kata.

"And you know, aku juga pernah berhubungan dengan Louis sebelum dia kembali padamu. Faktanya, kini Louis masih mencintaiku dan beberapa bulan ini tinggal di rumahku," lanjut Belinda bangga.

Dada Zamo bergemuruh dan ia tidak bisa mengatur napas. Seluas apapun ruang kerja Affan tak bisa memberikan oksigen yang baik buatnya. Ruangan itu terasa sempit dan sesak.

"Kita tak pernah memiliki hubungan apapun, Bee. Berhentilah mengumbar kebohongan bahwa aku mantan pacarmu. Kau tahu aku tak sudi punya pacar seperti kau!" elak Affan yang sangat marah.

"Sudahlah, Affan. Aku tahu kau hanya cemburu karena kini aku lebih memilih Louis dan kami sudah nikah siri. Bahagianya aku," tutur Belinda sambil memamerkan jari manisnya yang dihiasi cincin.

Plakk...

"Zamo, lancang sekali kau menamparku, bitch!" teriak Belinda. Dia pun mengusap pipi kanannya yang terasa perih.

Zamo bertepuk tangan sembari membalas, "Hebat, Belinda. Kau adalah wanita terhebat yang pernah kutemui. Kau berhasil menyandang gelar pelakor."

Belinda tak bisa tinggal diam akhirnya menampar Zamo juga. Affan yang geram atas kelakuan wanita murahan itu, membantu melerai keduanya. Dia memeluk Zamo yang sedang menangis.

"Sayang, untuk apa kau ke kantor pria brengsek-"

Terdengar umpatan seorang pria yang masuk tanpa tahu sopan santun. Dia terkejut menyaksikan istrinya dipeluk oleh pria yang bertahun-tahun ia benci.

"Lepaskan istriku, dude!"

Amarah Louis hampir mencapai titik tertingginya. Dia menarik paksa Zamo dari pelukan Affan.

Zamo tertawa hambar, "Istri kau bilang? Suami macam apa kau, Louis? Kau sudah menikah siri dengannya tanpa sepengetahuanku. Sebelumnya, kau menetap di rumahnya. Apa bukti itu menunjukkan bahwa kau masih pantas menjadi suamiku?"

Louis tak mendongak. Dia tidak berani menatap istrinya yang berlumuran air mata.

"Tatap aku, brengsek!" maki Zamo.

"Zamo, sudahlah. Tak baik untuk bayimu," Affan mengingatkan.

Beberapa detik kemudian, Louis mendongak dan menatap Zamo yang pilu. Dia menelusuri bola mata istrinya. Berharap masih menemukan rasa cinta yang ia punya di sana. Sayangnya, rasa itu tak muncul lagi. Cintanya untuk Zamo telah hilang. Dia hanya merasa kasihan pada wanita itu dan menyesal karena telah menyakitinya.

"Maaf, Zamo. Belakangan ini aku sedang memantapkan pilihanku. Aku memang mencintaimu, tapi kali ini berbeda. Aku hanya mencintaimu karena kini kau sedang mengandung anakku. Aku masih bertanggung jawab atas kalian," jelas Louis yang sangat menohok di hati Zamo.

"Apa maksudmu? Bicaralah yang jelas, dude! Katakan padanya bahwa kau tidak benar-benar mencintai Belinda dan menikah siri dengannya," kata Affan tak percaya.

Perfect StormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang