(34) Thirty Fourth

436 16 6
                                    

Sebelum baca, vomment dulu :)

Thanks💞

***

Author POV

Tidak salah lagi kalau di balik pintu itu adalah tempat tinggal seseorang yang ia cari. Affan menghela napas yang tak beraturan sejak beberapa menit lalu. Butuh keberanian besar untuk ke sini. Butuh rasa percaya diri yang kuat pula agar mentalnya tidak down saat masuk ke dalam.

Dengan tangan yang gemetar, Affan menekan sebuah tombol sebagai tanda ada tamu yang mampir.

"Ya, ada perlu apa?"

Zamo membuka pintu dan reaksinya begitu shock. Matanya terbelalak, lalu menghindar ke arah lain, setelah sebelumnya bertaut dengan blue eyes milik Affan.

"Sorry. Kedatanganku ke sini untuk-"

Tanpa basa-basi, Zamo berkacak pinggang dan memasang ekspresi datar, "Untuk apa, dasar penguntit? Kau pasti mengikutiku terus untuk mencari tahu di mana aku tinggal, kan? Caramu ini tak sopan dan kau bisa kulaporkan!"

Affan menyunggingkan senyumnya sedikit, "Kau lucu sekali. Aku ke sini karena prihatin pada nasibmu. Jadi, aku membawakan buah."

Tak perlu menunggu respon dari Zamo, Affan masuk ke dalam dan meletakkan satu keranjang buah di atas meja.

"Kau benar-benar tidak sopan, Mr. Affan! Aku tidak menyuruhmu masuk. Lagi pula, aku tidak sakit. Aku tak butuh buah-buah yang membosankan seperti apel, pisang, jeruk, atau segala macam buah yang kau bawa!" usir Zamo kesal.

Pria ini sangat tidak peka dan mengacuhkan kicauan seorang wanita hamil. Affan duduk tanpa disuruh dan ia tersenyum.

"Baiklah, Affan. Apa maumu? Tak usah tersenyum! Semanis-manisnya kau tersenyum akan tetap terlihat pahit bagiku," hina Zamo yang lebih puas.

"Secara tak langsung kau memujiku. Memangnya senyumku benar-benar manis, ya?" lontar Affan sambil menaikkan alis sebelah.

"Tidak! Ma.. maksudku..."

Affan tersenyum melihat Zamo yang salah tingkah. Lalu, dia bergegas ke dapur. Entah apa yang ia cari, namun hal itu berarti melanggar aturan kesopanan tamu.

"Affan! Apa yang kau-"

Entah dorongan emosi hamilnya atau Affan yang memang menyebalkan hari ini. Tapi, Zamo mengikuti Affan ke dapur sambil meracau tak jelas.

"Itu pisau, Affan! Jangan bilang kau psychopath, ya! Tadi tersenyum sendiri dan sekarang memegang pisau," histeris Zamo yang merasa pria di hadapannya ini memang memiliki kepribadian ganda.

"Aku ingin menusukmu!" ancam Affan yang disusul tertawa cekikikan.

"Jangan bercanda, Affan. Aku takut," kata Zamo yang memukul dada bidang lelaki itu.

Sembari memegang pisau di tangan kirinya, tangan Affan yang satunya menarik tangan Zamo untuk kembali menuju ruang tamu. Meskipun tak mengerti, ia tak melawan.

"Kau sedang hamil dan makan buah bagus untuk kesehatan kalian berdua," tutur Affan. Dia mengupas kulit apel dengan cekatan seperti sudah handal.

Pipi Zamo bersemu atas perhatian yang Affan berikan saat suaminya sendiri tak bertanggung jawab untuk melakukan kewajiban itu.

"Tapi, tetap saja jangan menakutiku dengan pisau itu." 

Peringatan Zamo itu membuat Affan kembali tertawa. Bedanya, kali ini lebih lepas. Sedangkan Zamo cemberut dan mengatup mulut rapat-rapat. Kalau bisa dikunci, sudah ia lakukan itu.

Perfect StormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang