(7) Seventh

1.7K 184 16
                                    

Mulmed : Douglas Booth as Efraim Sam Vander.

***

"Ayah tidak bisa memecatnya, Fan," kata-kata yang mulus keluar begitu saja dari mulutnya.

"Kenapa?! Asistenku hampir stress akibat trauma yang dialaminya!" bentak putranya.

"Kejadian ini tidak ada hubungannya dengan perusahaan kita, Nak. Sam tidak menghancurkan perusahaan, bukan? Dia bekerja cukup baik."

Affan pun mendengus. Ayahnya sangat santai menghadapi situasi yang buruk ini. Padahal bisa berimbas besar pada image perusahaan mereka.

"Tapi, jika ada orang luar yang tahu, perusahaan kita akan tercemar reputasinya akibat ulah Sam, ayah! Aku tidak mau perusahaan kita dianggap sebelah mata! Padahal kita baru saja memulai awal kesuksesan yang besar-besaran."

"Affan! Ayah bisa menghukum Sam, tapi tidak dengan memecatnya!" bentak Rudolf sambil bangkit dari kursi kehormatannya. Lalu, ia melempar kasar dokumen di hadapannya.

"Tapi.."

"Keluar, Affan! Biar ayah yang menangani urusan ini!"

Affan belum menyelesaikan kalimatnya, tapi Rudolf sudah memotongnya dengan menahan amarah. Beliau menunjuk ke arah pintu.

Beberapa detik kemudian Affan masih terdiam. Dengan penuh kekecewaan, ia menuruti perintah Rudolf untuk keluar.

***

Seperti inikah rasanya dilecehkan? Bahkan wanita itu masih sesak dadanya saat memikirkan itu. Dia menjadi murung berhari-hari dan terus menangis terisak-isak.

Seandainya jika ia tidak menurut saat Sam mengajak lunch pasti semua tak akan begini. Oh, seandainya. Kalimat itu takkan berlaku lagi sekarang mengingat semua telah terjadi. Pria itu juga telah merenggut ciuman pertamanya. Kejadian ini sangat buruk yang pernah ia alami. Rasanya sungguh sakit. Sam benar-benar telah meruntuhkan dunianya.

Hembusan angin menerpa wajah wanita yang masih meneteskan air mata. Dia tidak merasakan angin itu. Yang ia rasakan saat ini hanyalah sakit didada. Bahkan ia tidak masuk kerja berhari-hari karena belum siap bertemu rekan-rekan di kantor. Mereka pasti mengucilkannya dan dirinya tampak hina sekarang. Sungguh, jika Sam bukan anak tiri dari presiden direkturnya, semuanya bisa jadi lebih mudah dan tidak akan mengancam pekerjaannya yang masih seumur jagung.

Tiba-tiba, Zamo mendengar ada yang memencet bel. Tapi, ia tidak langsung beranjak dan membuka pintu. Semangat hidupnya menjadi hilang.

Seseorang di luar sana yang belum diketahui identitasnya terus memencet bel dengan tidak sabaran. Zamo melangkah malas dan mendapati Affan menyengir padanya.

"Bolehkah aku masuk?"

Zamo mengangguk lemah. 

Affan duduk disofa membawa makanan. Terlihat jelas dalam kotak makanan yang ia bawa dan ditaruh di atas meja. Zamo pun duduk di sebelah Affan.

"Aku membawa nasi goreng. Kau pasti belum makan malam."

"Tidak makan pun tidak akan membuatku mati," balasnya ketus. Senyum yang ditunjukkan Affan seketika memudar.

"Makanlah, Zamo. Kau pucat sekali," bujuk Affan secara halus. Faktanya perut wanita itu menolak untuk diisi.

Zamo mendengus dan mengacuhkan Affan.

"Baiklah. Aku yang akan menyuapimu."

Affan pergi ke arah dapur. Zamo yakin pria itu mengambil sendok dan segelas air putih untuknya. Dia meraih kotak makanan tersebut, kemudian membukanya. Affan memegangi sendok yang berisi nasi goreng untuk ditujukan pada Zamo. Syangnya, mulut Zamo sulit dibuka.

Perfect StormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang