(9) Ninth

1.4K 157 8
                                    

Setelah menghabiskan sepiring lasagna, dan cemilan yang semakin berkurang karena telah beralih tempat keperutnya, pandangan Zamo teralih pada layar yang ada di depan. Sementara asyik menonton, ia tak menyadari wajah Affan telah berjarak satu jengkal dari wajahnya.

"Minggir!" perintahnya refleks.

Namun, apa yang diharapkan tidak kunjung terwujud. Seakan bahwa tidak ada yang berbicara. Seakan telinganya tersumbat. Seakan berpura-pura tidak mendengar. Ketiganya benar adanya.

Selain wajah, Affan juga merapatkan tubuhnya. Zamo pun bisa mencium aromanya.

"Bisakah kau diam? Kau selalu berceloteh saat moment seperti ini," lawan Affan.

Dengan perasaan kesal yang bercampur aduk, Zamo segera angkat kaki. Tapi, tangannya ditahan yang memberikan isyarat bahwa jangan pergi.

"Lepaskan, Affan!"

"Kau mau kemana?" tanya Affan tanpa mau melepaskan cengkeraman tangannya. Matanya tampak begitu santai.

"Ke kamar," jawabnya ketus.

"Ngapain?"

"Tentu saja aku mau tidur. Lepaskan aku!" pekik Zamo yang masih meronta. Affan tidak tahu bahwa Zamo sangat sulit menormalkan detak jantungnya saat ini.

"Duduklah, little girl," perintahnya dengan lembut. Suaranya yang lembut dan tatapan mata damai akan membuai Zamo lebih dalam jika saja ia hilang kendali.

"Tidak, Affan!"

Seketika Affan menarik tangannya tanpa melepas cengkraman. Spontan tubuh wanita itu ikut tertarik dan tepat mengenainya. Ini sungguh memalukan dan membuat jantung Zamo berdetak lebih cepat. Bahkan sangat cepat.

Zamo tak berani untuk mendongak. Nyalinya yang semula bergejolak dan menggebu-gebu berubah menjadi ciut. Tidak tahu harus bagaimana, ia menutup mata.

"Aku mencintaimu, Zamo."

Kalimat itu telah melelehkannya. Badan Zamo lemas dan tak berdaya. Entah kejujuran atau kebohongan yang ia sampaikan, tapi Zamo larut dalam pikirannya sendiri.

Affan memeluk Zamo lebih erat. Sentuhan tangannya terasa sangat hangat dan menenangkan. Sungguh, Zamo benar-benar tidak tahu bereaksi seperti apa.

"Maafkan aku. Aku hanya ingin terus ada di sisimu. Aku tidak akan membiarkan air matamu terjatuh lagi. Aku akan menjagamu."

Zamo tidak bisa berhenti memikirkan kejadian tadi malam. Pria itu semakin membuatnya frustasi. Apa yang Affan lakukan telah membuatnya harus mencerna maksud dari atasannya itu. Dia tidak tahu harus senang atau bagaimana. Padahal sejauh ini pria itu sangat baik dan memang terlihat menjaganya.

"Oh, my God! Kenapa aku terus memikirkannya? Lupakan, Zamo!" batin Zamo sambil menangkup kedua pipinya yang pasti sudah memerah.

Tiba-tiba, Zamo menerima sebuah panggilan telepon. Dia tersentak seketika.

"Louis.." gumamnya.

Perfect StormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang