(39) Thirty Ninth

166 10 1
                                    

Waktu terus berlalu. Tak terasa kehamilan Zamo sudah menginjak 9 bulan. Dia hanya perlu menunggu kelahiran sang buah hati beberapa hari lagi. Jujur saja, Zamo merasa gugup karena ini yang pertama baginya.

"Kau tak perlu repot-repot ke sini. Lebih baik kau kerja, Affan. Aku sudah dewasa. Aku bisa jaga diri."

Affan, pria itu tak berkutik dan malah menunjukkan senyumnya yang sukses membuat kaum hawa berdesir, termasuk Zamo. Bagaimana mungkin Affan tersenyum seperti itu tanpa merasa berdosa padanya?

Lagi dan lagi, orang yang sering menemaninya ini memang keras kepala dan menyebalkan. Entah apa yang merasukinya, padahal pekerjaannya jauh lebih penting ketimbang Zamo sendiri. Namun, pandangan pria tersebut berbeda. Zamo adalah tanggung jawabnya. Setelah apa yang menimpa rumah tangganya, hati nurani Affan tersentuh untuk menjaga Zamo. Wanita itu selalu sok tegar, padahal sebenarnya rapuh sekali saat diguncang sedikit saja. Anggaplah ia sebagai suami semu untuk wanita yang masih ia cintai. Meskipun Zamo tak mementingkan itu, tapi ia senang sudah berlagak seperti suami pada umumnya.

"Affan! Kau menyebalkan sekali," gerutu Zamo sambil memalingkan wajahnya. Tentu saja ia emosi menyaksikan senyum Affan yang tiada henti itu. Semacam sudah gila, mungkin.

"Makan saja jeruknya. Jangan marah terus," kata Affan yang semula sudah mengupas kulit jeruk untuk Zamo.

"Pergilah ke kantor, Affan. Karyawanmu lebih membutuhkanmu daripada aku. Aku tahu bisnismu sedang berada di puncak. Jangan kau sia-siakan kesempatan yang ada," perintahnya yang entah sudah berapa kali. Dia tidak ingin pria itu lalai bekerja karena hanya menjaganya.

"Kau sangat ingin aku ke kantor sekarang juga?"

Zamo mengangguk mantap.

Raut wajah Affan terlihat gusar. Gadis kecilnya itu selalu ingin memenangkan argumennya. "Baiklah. Tapi, aku tidak bisa meninggalkanmu sendiri di sini."

"Aku tidak apa-apa. Kau tak perlu cemas."

"Tidak bisa-"

"Affan, I'll be fine. Trust me," yakin Zamo sambil memegang tangannya.

Okay, Affan mulai gugup. Dia buru-buru mengiyakan sebelum Zamo menyadari kegugupannya.

"Hubungi aku kalau ada apa-apa. Ingat, kau jangan kemana-mana. Anak buahku pasti bisa membantu yang kau butuhkan. Aku pergi dulu," pamit Affan sambil mengacak rambut Zamo.

***

Jam kerja telah berakhir. Affan bergegas merapikan berkas-berkas yang berserakan di atas mejanya. Dia tidak sabar bertemu Zamo. Walaupun tadi pagi ia sudah menemui wanita itu, tapi tetap saja rasanya ingin betemu lagi. Zamo sudah membuatnya kecanduan.

Beberapa lama kemudian, Affan telah sampai di apartemen Zamo. Karena tinggal di apartemen yang sama, Affan jadi lebih leluasa untuk memantau wanita itu.

"Affan?"

Setelah mendengar suara lembut dari wanita yang ia cintai, Affan tersenyum. Dia menghampiri Zamo yang sedang menonton televisi. Zamo pasti merasa sangat bosan.

"Bagaimana kabarmu? Kau butuh sesuatu?"

Zamo menggeleng sebagai respon. "Kau pasti haus. Aku ambilkan minum dulu, ya."

Namun, Affan segera mencegah niat baik wanita tersebut. "Tidak perlu. Kalaupun aku haus, aku bisa ambil sendiri."

"Tapi, Affan..."

Pria itu tersenyum dan mencubit hidungnya. Zamo memperlakukan Affan seakan suaminya sendiri. Pulang bekerja saja lsngsung disuguhi minuman.

"Pasti Louis sangat bahagia dilayani seperti ini," pikir Affan.

Perfect StormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang