(42) Forty Second

204 12 2
                                    

"Jadi, tujuanmu ke sini untuk minta maaf?" tanya seorang pria paruh baya meremehkan.

Sang lawan bicara tersenyum. Sebisa mungkin beliau terlihat kuat dan sabar. "Lebih dari itu. Kau tahu bagaimana hubungan anak-anak kita."

Kino mendengus. "Aku takkan pernah lupa apa yang telah kau perbuat pada keluargaku."

Pria yang duduk di hadapannya, Rudolf, menghela napas. Dia yakin putra tirinya, Sam, tengah mengatur pola napas. Sam tampak tegang dan gugup. Lalu, dia menepuk pundak Sam.

"Aku benar-benar minta maaf. Sikap Affan yang membatalkan pertunangan pada hari H sangat tidak sopan. Dia melakukan itu karena ia yakin hanya Sam yang bisa membahagiakan putrimu," papar Rudolf.

"Kejadian itu beberapa bulan lalu. Kami sebagai orang tua sangat kecewa karena sikap anakmu. Tapi, aku lihat Thalia terus murung karena kami melarang hubungannya dengan Sam. Bahkan dia juga cerita kalau Sam tidak ingin mendekatinya sebelum kami memberi lampu hijau. Jujur, aku menghargai sikapmu, Sam," puji Deline yang perlahan mulai melunak.

Bagaimana tidak, Thalia memilih untuk berhenti bekerja. Wanita itu kehilangan tujuan hidup dan mengurung diri di kamar terus-menerus. Kino memarahinya setiap hari karena tindakan bodoh itu.

Namun, semua orang pasti pernah merasakan jatuh cinta, bukan? Sepintar apapun kita, tapi kalau sudah berurusan dengan cinta pasti rasanya seperti bodoh. Kita melakukan hal-hal yang kekanakkan karena cinta. Kita bisa merasa menjadi manusia paling bahagia di dunia karena cinta pula. Thalia pikir, Kino bisa memahaminya. Ternyata, jawabannya tetap tidak.

"Terima kasih, tante. Saya sungguh menyesal selama ini telah membuat om dan tante kecewa," ujar Sam dengan rasa tulusnya.

Kino memijat pelipis. Kepalanya sakit sekali. Sebenarnya, alasan utama ia menolak Sam mentah-mentah karena malu jika menerima pinangan dari keluarga Rudolf lagi. Para koleganya pasti mencibir. Namun, beliau juga tidak tega putri semata wayang sedih berlarut-larut. Thalia tampak begitu mencintai Sam.

"Saya takkan meninggalkan Thalia seperti yang adik saya telah lakukan. Saya berjanji membahagiakannya. Saya sangat mencintai putri om," ujar Sam yakin. Sementara itu, Kino terdiam.

"Beri saya satu kesempatan lagi untuk membuktikan bahwa saya serius dengan Thalia," sambung Sam.

Sam berlutut di depan Kino. Deline terlihat tidak tega dan membantu Sam berdiri.

"Baiklah," kata Kino.

***

"Kamu cepat bangun, ya. Kamu harus temani aku saat persalinan."

Seseorang yang dituju takkan bisa merespon. Jangankan untuk berbicara, menggerakkan anggota tubuh saja tidak bisa. Berulang kali wanitanya memanggil dan mengajak bicara, tapi hasilnya belum terlihat.

"Meskipun kamu tega mengkhianatiku, tapi aku ingin kamu tetap bertahan," sambungnya sambil membelai rambut Louis. 

Zamo terisak. Louis dinyatakan koma beberapa jam setelah operasi berhasil. Kondisi ini sudah terhitung hari ketiga. Mereka tak sadar bahwa salah satu komplikasi dari epidural hematoma yaitu koma. Padahal mereka kira pria itu bisa pulih lebih cepat.

Sang istri, Zamo, tidak ingin memikirkan soal perceraian dulu. Yang terpenting sekarang adalah Louis segera bangkit dari koma. Sesakit apapun yang ia rasakan dan sehancur apapun hatinya kini takkan bisa menepis bahwa ia mendoakan yang terbaik bagi sang suami.

"Jauhkan tanganmu dari suamiku, bitch!"

Zamo tersentak dan melihat Belinda berjalan ke arahnya disertai ekspresi cemburu dan marah.

Perfect StormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang