(5) Fifth

2.1K 269 29
                                    

Zamo tak tahu harus bagaimana bersikap di hadapan atasannya. Sejak menginjakkan kaki di kantor, ia hanya duduk manis dengan berpura-pura memeriksa pekerjaan. Padahal dia tahu, semua pekerjaan telah beberapa hari lalu diselesaikannya dengan cepat.

Beberapa menit lalu, Affan hanya melewati meja Zamo dengan gaya angkuhnya yang selalu membuat wanita itu ilfeel. Pria tersebut fokus mengarahkan perhatian ke arah pintu. Bagaikan ingin menjangkau pintu berlapis kaca itu dengan cepat.

Mendadak Zamo bingung harus menemuinya dulu atau tetap duduk manis seperti ini. Tapi, rasanya dengan jabatan ini ia harus banyak basa-basi pada sang CEO perusahaan ini.

"Zamo, kau melamunkan apa?"

Zamo pun tersentak, lalu matanya beralih pada sesosok pria jangkung yang akrab dengannya beberapa hari ini. Awalnya, mata itu menatap lurus ketumpukan dokumen. Walaupun pikirannya sama sekali tidak pada dokumen itu.

"Oh, tidak," jawabnya sigap sambil memberikan senyum tulus pada Tom sebagai tanda sebuah sapaan pagi hari.

Tom membalas senyuman itu, bahkan lebih lebar. "Well, kau tidak menemui Pak Affan? Seingatku, kau bilang pekerjaanmu telah kau selesaikan."

"Ya, memang. Biarkan saja dia yang memanggilku untuk memberi tugas baru."

"Kau ini asisten yang pemalas dan manja," tutur Tom dengan kekehan khasnya sambil melonggarkan ikatan dasi garis-garis hitam yang melingkari leher putihnya.

"Urus saja dirimu sendiri, Tom. Kau bahkan terlambat 10 menit," ledek Zamo yang mengecek arloji dipergelangan tangan kanannya.

"Ckck. Aku sudah datang lebih awal daripada kau, Zamo. Aku hanya permisi ke toilet," belanya pada diri sendiri.

"Selama 10 menit?"

Zamo tercengang. Apa yang dilakukannya selama itu?

"Tak perlu kau terkejut begitu. Kurasa kau bisa menebaknya," jawab Tom yang mengerling pada Zamo.

"Well, itu bukan urusanku," balas Zamo acuh sambil berpaling dari manusia yang cukup menyebalkan ini.

"Tugasku masih banyak, Zamo. Nanti saja kita bicarakan tentang hubungan kita, okay?"

Zamo menoleh dan menatapnya horor.

"I love you, Zamo," sambungnya.

Untung saja dia mengeluarkan suara pelan. Zamo tak bisa membayangkan jika semua pasang telinga yang ada di ruangan ini mendengar gombalan maut dari Thomas.

***

"Jadi, kamu sudah mengerti tugas yang saya berikan, bukan?"

Zamo mengangguk lembut sebagai balasan. Terkesan dibuat-buat.

"Bagus. Kembali ke tempatmu," perintahnya dengan kedua bola mata asyik dengan layar laptop.

"Dasar, workaholic!" batin Zamo.

Baru saja Zamo berbalik badan, tetapi suara Affan mengurungkan niatnya. "Tunggu!"

"Ada apa, Pak?"

"Duduklah!" perintahnya lagi.

Telinga Zamo bisa sakit mendengar nada bentakan itu. Demi menjaga sikap, ia duduk di kursi yang berhadapan dengan Affan. Jujur, harus diakui dia tampan dengan jarak cukup dekat ini bagi Zamo.

Affan menghentikan aktivitasnya. Matanya menatap tajam ke arah Zamo. Seperti tatapan menyelidik mungkin.

"Sudah baikan?"

Perfect StormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang