(24) Twenty Fourth

716 32 6
                                    

Zamoni POV

"Louis, maafkan aku.." aku berlirih sambil menatap suamiku yang hanya diam membeku.

Entah dia mendengarku atau tidak, yang jelas dia sedang berusaha untuk tidak memarahi bahkan membentakku habis-habisan. Agak merasa ngeri, itulah yang kurasakan kini. Bagaimana tidak, keromantisan yang ia ciptakan tadi seolah sirna setelah pengakuan dari Thalia. Louis tidak berbicara apapun selepas kepergian istri Affan tersebut. Let me repeat again, istri?

Ternyata, pria bajingan itu sangat mahir dalam mematahkan hatiku. Berani-beraninya ia ingin memperbaiki hubungan kami tapi justru di belakangku ia bermain dengan wanita lain. Maksudku, ia sudah melangsungkan pertunangan yang otomatis resepsi pernikahan juga akan dilaksanakan. Kemudian, satu jam yang lalu istrinya menghampiriku. Apa ini bagian dari rencananya? Mengapa ia belum puas untuk menghancurkan hidupku?

Selama ini, aku mencoba menghapus bayang-bayang Affan. Semuanya terasa lebih baik setelah bahtera rumah tangga yang kujalani bersama Louis. Dia sangat perhatian dan memberiku cinta yang tiada habisnya. Louisku sudah berubah. Aku bersyukur memiliki suami seperti dia.

"Aku muak, Zamo," gumam Louis, tidak dengan emosi.

Aku terkesiap mendengarnya. Mataku berkaca-kaca. Louis memang tidak marah atau mengamuk padaku, tapi dia tampak menyerah dan lelah atas semua cobaan yang kami lalui.

"Tidak bisakah pria bernama Affan itu menghembuskan napas terakhirnya saat ini? Kita selalu berdebat tentangnya. Dia selalu menghantuimu, begitupun aku. Aku muak! Sangat muak!" bentak Louis. Akhirnya, ia tidak bisa menahan gejolak amarah, "Apa perlu aku yang membunuhnya? Aku akan menembak atau menusuknya. Aku bisa.."

Louis langsung melipat lengan kemejanya hingga ke atas, segera ia menuju pintu, namun usahanya sia-sia. Aku berhasil menahan dan mengurungkan niat gilanya.

"Aku.. aku bisa menghabisinya, Zamo. Kalau tidak, dia terus mengganggumu. Dia begitu menginginkanmu dan sampai kapanpun aku takkan rela," pekik Louis dengan wajahnya yang memerah. Keringatnya bercucuran hingga membasahi kemeja yang ia kenakan.

"Hentikan, Louis. Hentikan.." aku menangis melihat bola mata hijaunya yang berair. Louis menangis? Orang sekeras Louis menangisi hal seperti ini?

"You're mine. Always be mine. Zamo is mine."

Berhambur kepelukannya, itulah yang kulakukan. Louis masih terisak dan aku mendengar detak jantungnya yang tak karuan. Hatiku hancur melihat suamiku begini. Aku telah banyak menyakitinya. Aku harus membalas kebaikannya selama ini.

"I'm yours. Over and over again."

"I'm so happy that you're mine," senyum Louis merekah.

Perlahan, ia memegang dahuku. Walaupun matanya masih berkaca-kaca, namun Louis malah menghapus sisa-sisa air mata milikku. Aku tersenyum untuk membalas. Rambutnya yang berantakan segera kurapikan dengan jari-jemari.

"Maafkan aku yang sudah menyakitimu," kataku tulus.

"Tidak. Aku yang salah. Aku hampir tidak menyadari bahwa faktanya Affan sudah beristri. Aku pun mempunyai istri yang luar biasa. Dia takkan mungkin mengkhianatiku."

Aku tersenyum dan berharap bahwa keteguhanku tidak akan goyah, begitupun dengan Louis.

***

"Zahira.. sini sayang..." panggilku secara lembut.

"Za nggak mau. Za mau main sama ikan," jawabnya dengan kata-kata yang masih belum jelas. Maklum, umurnya baru 1 tahun 6 bulan.

"Nanti Za jatuh ke kolam. Daripada main sama ikan.."

Perfect StormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang