(43) Forty Third

190 10 0
                                    

Memiliki buah hati adalah dambaan setiap orang. Bagaimana pun juga, anak adalah anugerah terindah bagi orang tua. Terlebih lagi bagi seorang ibu yang telah mengandungnya selama 9 bulan. Tentu saja perjuangan sang ibu takkan bisa dibalas dengan cara apapun.

"Selamat, ya, sayang. Sekarang kamu sudah menjadi ibu."

Zamo sudah sadar, meskipun penglihatannya masih buram karena sisa-sisa dari pembiusan. Tak lama, ia mendengar tangisan seorang bayi. Saat matanya terbuka sempurna, ia melihat sang ibunda sedang menggendong seorang bayi di hadapannya.

"Ini.. anakku?" tanya Zamo tak percaya sambil meneteskan air mata.

"Iya sayang. Ini cucu ibu."

Zamo terharu karena setelah sekian lama ia membawa bayi itu dalam perutnya, sekarang ia melihat secara langsung si buah hati. Dengan tangisan yang masih keras, Zamo beralih menggendong sang bayi sambil menenangkannya.

"Dia perempuan, sayang. Sangat cantik seperti kamu," ujar Ester yang masih terharu.

Dilihatnya lekat-lekat sang bayi. Bulu mata lentik, hidung mancung, bibir kecil yang merah muda, dan kulit putih bersih yang sama seperti miliknya. Ester benar, putrinya ini sangat cantik bahkan mengalahkan dirinya.

"Selamat, Zamo. Operasinya lancar dan bayimu sangat cantik," kata Affan yang berdiri di sebelah Ester.

Beberapa menit kemudian, masuklah Resty, Pras, Thalia, dan Citra. Mereka datang untuk menyaksikan langsung si bayi mungil.

"Cucu pertamaku. Terima kasih banyak sudah memberiku cucu yang sangat cantik ini, Zamo," ujar Citra yang menangis ikut terharu sambil beralih menggendong sang cucu.

"Tak perlu terima kasih, ma. Ini sudah kewajibanku sebagai menantu mama."

Zamo tersenyum dan di sebelahnya Ester membelai lembut rambut putrinya. Meskipun ia sangat kecewa dengan sikap Louis, tapi Citra tetaplah mertua bagi anaknya. Apalagi selama ini Citra memang sangat baik.

"Zamo, tolong fotokan aku dengan putrimu yang menggemaskan ini," pinta Resty yang langsung dicegah oleh Affan.

"Enak saja! Dia baru selesai operasi dan kau malah menyuruhnya di antara sekian banyak orang yang bisa kau mintai tolong di sini."

Resty langsung mengerucutkan bibirnya saat mendengar omelan Affan yang sangat posesif seakan Zamo adalah istrinya. Sedangkan di sisi lain, semua orang tertawa melihat tingkah Resty.

"Affan benar, sayang. Aku bisa mengambil foto untukmu," kata Pras menawarkan diri.

"Tapi, Zamo tidak perlu berdiri kok. Dia hanya duduk saja sambil menekan tombol kamera ini untukku," bantah Resty.

"Tidak, sayang. Zamo masih perlu istirahat bersama bayinya. Lebih baik sekarang kita pergi makan ke luar karena aku sangat lapar, honey."

Pras yang paham akan ulah istrinya yang semakin aneh ini segera mencari solusi. Apalagi ia ingin Zamo benar-benar istirahat sekarang.

"Tapi, sayang, aku kan ingin.."

"Nanti saja kita berfoto dengan bayinya, ya."

***

Amarahnya telah sampai di puncak. Bahkan ia bisa saja melemparkan gelas yang sedang digenggamnya. Dadanya terasa sangat sakit, bahkan setiap hari terasa semakin menyiksa.

"Jawab aku! Itu tadi telepon dari siapa?" tanya Belinda dengan nada suara dingin.

"Dari nyonya besar Citra, nyonya. Beliau mengatakan pada saya bahwa anak tuan Louis telah lahir dan beliau meminta untuk menyampaikannya pada anda," jawab Santi, salah satu pembantu di rumah Louis.

Perfect StormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang