Dua bulan kemudian, tak banyak yang berubah. Semua orang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Semakin hari, rasanya Zamo semakin bisa membiasakan diri tanpa kehadiran Louis sebagai ayah dari anaknya. Setiap hari pula ia berdoa dan berharap agar suaminya lekas siuman dan bisa menggendong bayi ini. Namun, dokter bilang semakin lama ia siuman maka semakin kecil peluang untuk selamat. Entahlah, dada Zamo terasa sakit sekali kala memutar kembali apa yang dokter katakan.
"Kamu harus sabar, ya, sayang. Papa pasti cepat bangun dan ketemu sama kamu."
Freya merespon dengan tertawa. Setidaknya, sang putri tidak terlalu rewel sehingga tidak membuatnya repot kalau harus menjaga seorang diri. Justru Freya merupakan anak yang ceria.
"Zamo, bisakah kau membantuku untuk mencuci piring? Aku sangat lelah dan ingin duduk sebentar," pinta seseorang dari arah dapur.
"Baiklah," jawabnya sambil keluar dari kamar.
"Aku akan menjaga Freya sebagai gantinya," tutur Resty yang melenggang ke kamar sambil berjalan pelan karena kondisinya yang berbadan dua.
Setelah Freya lahir, Zamo memutuskan untuk tidak tinggal di apartemen lagi. Rasanya sepi sekali tinggal seorang diri di sana. Kedua orang tuanya juga harus pulang dan tidak bisa menemaninya terus-menerus. Maka, Citra mengajaknya untuk pulang. Rumah yang mereka tempati ini adalah rumah Pras. Citra memang tinggal di sini sejak Pras membeli rumah. Bedanya dulu Zamo tinggal di rumah Louis dan sempat kabur menyewa apartemen baru setelah insiden yang kurang mengenakkan. Tentu saja ia senang karena di sini juga ada Resty.
Soal pembantu memang ada di rumah ini. Malah lebih dari 5 orang. Namun, terkadang Resty dan Zamo tidak mau menggunakan jasa pembantu terus untuk hal kecil. Misalnya saja mereka bisa masak sendiri. Dan hal inilah yang membuat para pembantu sangat betah bekerja di sini.
***
"I love you, my dearest wife," bisik seseorang yang membuat wanita itu merinding.
"Tak seharusnya kamu takut seperti itu. Aku suamimu, sayang," sambung pria tersebut yang sebal melihat ekspresi sang istri.
Thalia tertawa. "Itu geli, sayang."
Melihat istrinya tertawa, Sam langsung memeluknya erat. "Ternyata, memang akulah jodohmu."
"Tentu saja. Kita memang ditakdirkan bersama," balas Thalia yang tersenyum bahagia.
Mereka sudah menikah seminggu yang lalu. Di hadapan semua orang, Sam melafalkan ijab kabul dengan lantang dan mantap. Niat baiknya untuk hidup bersama Thalia telah terwujud. Setelah sempat mengalami drama yang panjang, mereka pun bersatu dalam ikatan yang suci.
Kali ini, Sam mengajak Thalia untuk berbulan madu ke Italia. Thalia senang bukan main karena tujuan pertama mereka adalah Venice, kota yang memang ia idamkan dari dulu sebagai tempat honeymoon.
"Besok kita ke mana, sayang?" tanya Thalia sambil membalikkan badan dan membelai lembut rambut Sam yang setia melingkarkan lengan pada pinggangnya.
"It's up to you."
Thalia mengerucutkan keningnya. "Kita bisa menikmati bangunan khas Venice dan berkeliling kota memggunakan perahu. Wah, pasti romantis."
Sam yang gemas melihat kecerewetan Thalia langsung membuat bibir itu berhenti mengoceh dengan cara mengecupnya. Thalia tersipu malu. Dia yakin pipinya memerah sekarang atas sikap spontan Sam.
"I love you," kata Sam pelan.
"You said that for thousand times," ujar Thalia sambil tertawa.
"I'll say it over and over again."
Sam kembali mengecup Thalia dengan hangat dan pelan. Begitu pula dengan si istri yang melakukan hal yang sama. Tak lama kemudian, pria itu menggendong Thalia menuju kamar karena cuaca di balkon cukup dingin bagi mereka. Thalia tersipu lagi dan sangat bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Storm
Romance(COMPLETED) (REVISION) Aku mencintai dirimu yang sederhana. Berharap kesederhanaanmu membawaku menuju pintu hati yang selama ini kau tutup rapat. Tapi, bukankah kau harus membuka pintunya dulu agar aku bisa masuk? -Marryana Akhianka Zamoni Aku y...