Mulmed : Affan
***
Ini adalah hari ketiganya bekerja. Sejauh ini, ketiga hari ini, ia jalani dengan suka cita. Mengingat perusahaan ini paling sukses di Indonesia, bahkan sudah internasional. Zamo pun harus bersyukur karena gajinya di sini terbilang sangat besar.
Namun, wanita itu sedang melamunkan sesuatu. Tadi pagi ia melihat atasannya datang dengan penampilan sedikit berantakan. Entah mengapa, mungkin ada sedikit konflik di rumahnya pagi ini. Berbeda dengan 2 hari sebelumnya, ia akan memasang wajah datar dan cuek khas dirinya, tapi hari ini, dia terlihat kacau. Pipinya tampak memerah dan lebam.
Mungkinkah akibat tamparan?
Siapa yang menamparnya?Zamo berusaha menyingkirkan dugaan buruk tersebut. Bukan haknya untuk mencampuri. Dia hanyalah asisten Affan yang diberi tugas setiap hari. Tak lebih dan tak kurang dari seorang asisten.
"Zamo, mau ikut makan siang denganku?"
Wanita yang mendengar dirinya diajak itu mendongak dan mendapati Thomas Edison atau biasa dipanggil Tom. Dia salah satu rekan kerja Zamo yang bekerja di bagian keuangan.
"Oh, ya. Tunggu sebentar," jawabnya sambil merapikan meja.
Asisten harus dituntut rapi dalam bekerja. Jika dulu ia selalu berpenampilan urakan, mungkin sekarang harus berubah menjadi wanita anggun. Bukanlah hal yang mudah, tentunya.
Zamo berjalan berdampingan dengan Tom. Aneh saja, setiap ia bersama Tom pasti para karyawan wanita melirik dengan sinis, horor, ataupun tajam. Bagi Zamo ketiganya sama saja. Mungkin ini salah satu dampak dari ketampanan Tom. Perlu diakui dia tampan dan beribu kali Zamo berpikir mengapa ia mau berteman dengannya sejak hari pertama bekerja di sini?
"Jadi, kau hanya hidup sendirian di Jakarta?" tanya Tom saat kami sedang menikmati makan siang.
"Ya, begitulah," jawabnya, lalu melahap makan siang.
"Apa kau tidak takut? Jakarta terlalu bahaya untuk wanita baru sepertimu," nada suaranya terdengar meledek. Lidahnya juga telah membolak-balikkan makanan.
"Apa kau meremehkanku? Come on, Jakarta tak seburuk itu," tangkis Zamo cepat.
"Kau tak akan bilang begitu jika kau paham dengan Jakarta," elaknya.
"Aku paham, kok. Sangat paham."
"Terserah,"
Yes, dia selalu mengalah saat berdebat dengan Zamo. Itulah yang Zamo suka.
"Kau lapar atau rakus? Pak Affan pasti akan merasa ilfeel ketika melihat kau makan."
Tom tertawa cukup keras. Para karyawan tampak merasa risih dengan melirik ke arah meja kami.
Zamo pun membalas dengan memberikan tatapan meminta maaf yang sama sekali bukan salahnya.
"Well, aku tahu. Saranku, bersikap anggunlah saat makan layaknya kau ini seorang ratu. Jangan perlihatkan rasa laparmu secara terang-terangan."
"Ini hidupku!" ujarnya cuek.
Zamo menghabiskan satu suapan lagi. Sedangkan Tom hanya tertawa puas.
"Oh, ya, Pak Affan berbeda hari ini. Maksudku, ia terlihat kacau," ucap Zamo pelan.
"Tidak. Kau tampak begitu perhatian padanya?" tanya Tom sambil mengangkat alisnya sebelah.
"Aku serius, Tom. Mungkin Pak Affan ada sedikit problem."
"Kau benar. Feelingmu kuakui sangat tepat," jawab Tom. "Kau tahu, ia tak pernah suka dengan ibu tirinya dan Pak Sam," sambungnya, kemudian lanjut menyuap makanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Storm
Romance(COMPLETED) (REVISION) Aku mencintai dirimu yang sederhana. Berharap kesederhanaanmu membawaku menuju pintu hati yang selama ini kau tutup rapat. Tapi, bukankah kau harus membuka pintunya dulu agar aku bisa masuk? -Marryana Akhianka Zamoni Aku y...