(40) Fortieth

197 10 0
                                    

Air mata wanita itu terus meluruh. Dadanya bagaikan ruangan sempit. Dia harus berusaha melarikan diri dari ruangan tersebut karena seseorang menusuknya menggunakan pisau. Kalau dia tidak bisa lolos, rasa sakitnya akan semakin menusuk.

"Sayang, gimana kabar Louis?" tanya seorang wanita paruh baya yang langsung memeluk putrinya.

"Dokter sedang menanganinya, Bu," jawab Zamo sambil terisak-isak.

Meskipun dirinya sangat membenci pria itu, tapi ia harus mengakui bahwa hatinya ikut hancur melihat kondisi sang suami. Rasanya ia ikut merasakan luka fisik yang Louis alami.

James tersenyum sambil mengelus rambut sang putri untuk menguatkannya. Setelah diselingkuhi, anaknya harus menerima kenyataan pahit selanjutnya. Cobaan tidak henti-hentinya dialami oleh Zamo.

"Louis pasti selamat, Zam," ujar Resty yang ikut menangis melihat sahabatnya yang malang.

Pras yang berdiri di sebelah sang istri juga menguatkan Zamo. Adik iparnya telah melalui banyak guncangan beberapa bulan terakhir. Justru dia sangat khawatir dengan janin Zamo. Takut kalau stresnya memengaruhi sang calon bayi.

"Apa Louis baik-baik saja?" tanya seorang pria yang baru saja datang.

"Dia masih ditangani dokter di dalam, Fan."

Pria itu, Robert Affan Watterdam, duduk di sebelah Zamo. "Kita hanya perlu banyak berdoa. Kami juga akan selalu berada di sampingmu, Zamo. Kau tak perlu khawatir."

Affan sangat tidak menyukai Louis, tapi kalau nyawa pria itu sedang dipertaruhkan maka ia khawatir. Lebih tepatnya khawatir pada perasaan Zamo dan bagaimana calon buah hati mereka tumbuh besar tanpa kehadiran sang ayah. Tentunya Zamo semakin kesulitan menghadapi ini.

"Zamo.."

Wanita yang mendengar namanya dipanggil segera menoleh ke arah sumber suara. Air matanya semakin jatuh dengan deras kala melihat sesosok wanita paruh baya yang berlari menghampirinya sambil menangis.

"Bagaimana keadaan Louis? Apa yang terjadi padanya?!" pekik beliau.

"Louis.. dia masih di dalam, Ma. Dokter pasti bisa menyelamatkannya," jawab Zamo tertatih-tatih.

Citra, ibunda Louis, menangis sejadi-jadinya. Putra bungsu yang selama ini ia besarkan dengan susah payah sedang ditangani oleh dokter. Sementara itu, Zamo tak tega menyaksikan kepiluan Citra. Sang ibu mertua tampak begitu terpukul seakan ingin menggantikan posisi anaknya yang tengah berjuang.

Citra menggoyang-goyangkan tubuh beku Zamo. "Apa yang telah terjadi, Zamo?"

Zamo kesulitan menelan salivanya. "Aku.. aku baru saja dari supermarket. Saat di dalam taksi, aku melihat kerumunan orang di tepi jalan. Aku berhenti dan melihat mobil Louis sudah hancur. Para warga menolongnya keluar karena ia tak sadarkan diri. Awalnya, dia membawa mobil dengan kecepatan tinggi dan ditabrak oleh bus yang hendak berbelok."

Citra membekap mulutnya. "Seberapa parah luka yang kau lihat?"

"Cukup parah, Ma. Kepala dan dahinya berlumuran darah. Aku.. aku tidak.."

Zamo kehabisan kata-kata dan menangis untuk kesekian kali. Kepingan memori yang terjadi tadi sore membuat kepalanya pusing begitu hebat. Kondisinya juga melemah karena menangis terus.

"Kita pulang dulu, ya, sayang," ajak Ester sambil meraih tangan anaknya yang mengepal.

"Tidak, Bu. Aku akan tetap di sini," balas Zamo yakin.

Affan pun beralih untuk membujuk Zamo. "Kau harus pulang. Istirahat dulu. Pikirkan kesehatanmu dan kandunganmu. Kau sedang hamil besar, Zamo."

Sang sahabat, Resty, menundukkan badannya sedikit. Zamo tidak boleh keras kepala kalau situasinya seperti ini. Lalu, ia mengelus punggung tangan wanita itu.

Perfect StormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang