(23) Twenty Third

837 42 3
                                    

Affan POV

2 tahun berlalu..

"Permisi, Pak. Ada yang ingin bertemu dengan bapak."

"Baiklah, suruh masuk saja," jawabku tanpa berpaling dari layar laptop.

Tujuan hidupku kini hanyalah menjadi orang sukses dan disiplin dalam bekerja. Aku tidak mau lalai, meskipun tidak pernah seperti itu. Bagiku, aku harus menjadi pria yang mapan dan berpendidikan tinggi. Maksudku, wanita mana yang ingin mempunyai suami tidak mapan dan tidak berpendidikan?

"Kak Affan! Aku membawa makan siang untukmu!"

Suara yang setengah berteriak tersebut tak asing lagi ditelingaku. Aku mendongak dan ternyata dugaanku seratus persen benar adanya.

Aku pun membalas pelukannya setelah ia merentangkan kedua tangan yang ia miliki. Dia sudah kuanggap sebagai adik kandungku.

"Resty, sejak kapan kau ada di Indonesia?" tanyaku sambil mempersilakannya duduk disofa.

Wanita yang bernama Resty pun tersenyum, "Belum lama. Kemarin siang."

"Lalu, kenapa kau baru datang hari ini?" tanyaku lagi yang lebih antusias. Entah mengapa, aku dan Resty menjadi lebih akrab.

"Come on, kak, apa aku harus langsung menemuimu saat aku baru saja tiba di tanah air? Tentunya aku butuh istirahat, lulur, spa, salon, dan lainnya. Kebetulan, hari ini aku memutuskan untuk berjalan-jalan," jawabnya yang tak kalah antusias.

"Huh, kau seringkali memanjakan diri. Hasilnya pun tidak membuat kecantikanmu terpancar," sindirku.

"Aku siap mendengar semua sindiranmu. Tapi, jujur saja, aku sangat lapar. Apa kita bisa lunch sekarang?" Resty terlihat tidak sabaran.

"Baiklah."

Resty membuka dua kotak yang berisi makanan secara bergantian. Aromanya saja sudah menggugah selera. Aku yakin Resty yang memasak ini semua.

Kami larut dalam menyantap makanan masing-masing. Tidak ada satu katapun yang keluar saat berlangsungnya prosesi makan. Hehe, aku sedikit tertular kegilaan Resty.

"Jadi, kapan kakak akan menikah?" pertanyaan yang dilontarkan Resty langsung membuatku tersedak ketika tengah meminum air putih, makananku untungnya sudah habis.

Resty yang terkejut atas reaksiku langsung terkekeh sambil mengacungkan kedua jarinya. Aku yang bingung tidaklah mampu menjawab pertanyaan Resty dengan tepat.

Faktanya, aku belum menemukan wanita yang tepat untuk dijadikan seorang istri. Aku takut salah dalam hal memilih dan takut gagal dalam urusan rumah tangga. Mungkin terkesan lebay, tetapi aku tidak bisa memungkiri dua ketakutan tersebut. Padahal siapa yang tidak ingin segera menikah? Di usiaku yang sudah 27 tahun, mencari sesosok istri merupakan hal yang mulai wajib untuk dilakukan. Kendalanya hanya satu, yaitu siapa wanita itu? Wanita yang mencintaiku hingga akhir hayat, setia dan berbakti kepada keluarga, serta yang bertanggung jawab. Ah, andaikan aku tahu siapa jodoh yang telah ditakdirkan bersamaku.

"Hm, kudengar Zamo sudah memiliki seorang anak. Aku cukup menyesal karena tidak hadir pada resepsi pernikahannya," sambung Resty yang membuat dadaku berdetak tak karuan.

Bukankah seharusnya ini memang akan terjadi? Bukankah aku harus siap melihatnya bahagia bersama suami dan anaknya? Lantas, mengapa dadaku masih sesak seolah tak terima?

"Kau mengetahuinya darimana?" tanyaku sambil mencoba menenangkan hati.

"Dari Tom, rekannya itu. Kau tahu? Semenjak ia sudah berkeluarga, aku hilang contact dengannya. Begitupun dengan Tom, ia juga mendapat perlakuan yang sama dari Zamo. Aku tidak habis pikir bagaimana mungkin ia bisa menghilang begitu saja di muka bumi ini? Kuharap Louis tidak memenjarakannya di istana sebesar itu. Beruntung saja kemarin Tom bertemu dengan Zamo di restoran," tutur Resty. Kulihat raut wajahnya yang sedang meredam emosi.

Perfect StormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang