(30) Thirtieth

394 18 1
                                    

Author POV

Saat kau mencintai seseorang, maka kau telah dibutakan olehnya. Meskipun hanya satu tindakan yang membuat pipi bersemu, bagaikan dunia memihak pada kebahagiaanmu. Sebaliknya, satu tindakan saja untuk melukai hati nan kecil, sama halnya dengan kekejaman yang dilakukan dunia kepadamu.

Zamo tidak bisa berpikir jernih. Dia sibuk memijat pelipis yang baginya bisa mengontrol emosi yang sedang berkecamuk. Memang sudah diputuskannya bahwa ia memilih untuk pisah ranjang dengan suaminya sendiri. Hal yang semakin membulatkan tekad wanita itu, yaitu Louis yang tidak berusaha untuk membuatnya bertahan.

Louis, seseorang yang masih berstatus sebagai suami sahnya, tidak mengucapkan sepatah katapun saat Zamo mengemasi koper. Dengan setia pria itu menikmati hujan badai yang diintipnya melalui jendela besar transparan. Sama halnya dengan sang badai, Zamo meluruhkan air matanya disertai dada yang sesak. Dia pun memasukkan semua pakaian ke dalam koper. Hatinya semakin tercabik-cabik atas keacuhan yang dilakukan Louis.

"Aku berharap kau segera mengurus surat perceraian kita," tekan Zamo dengan suara serak.

Louis merutuki dirinya yang mati kata di depan istrinya itu. Dia tidak sanggup berbicara dengan wanita yang telah ia lukai, apalagi menoleh ke belakang dan meruntuhkan niat Zamo. Hatinya berkata bahwa ia harus mengejar Zamo, namun tubuhnya sama sekali tidak sependapat dengan hal itu.

"Breakfast dulu, sayang. Kenapa kau masih melamun?"

Zamo terhentak dan membalas dengan senyum kikuk, "Ah, tidak apa-apa, Bu. Mungkin pengaruh jagoan kecilku ini," dustanya sambil mengelus perut yang mulai membesar.

"Kau harus segera kembali pada Louis. Ibu tidak ingin kau bercerai dengannya," ujar ibu Zamo serius.

Segala hal yang menimpa rumah tangganya telah ia ceritakan pada sang ibu. Dia tidak mungkin menanggung beban ini sendirian. Zamo pun berharap ibunya setuju dengan keputusannya yang ingin bercerai dari Louis, sayangnya malah api amarah yang didapatkan.

"Buang jauh-jauh sikap kekanakkanmu, sayang. Satu kesalahan yang ia lakukan malam itu, bukan berarti ia selingkuh. Just positive thinking, okay?" sambung beliau sembari mengusap pipi putri bungsunya.

"Jika yang Ibu katakan benar, mengapa ia masih mengabaikanku? Dia tidak mencoba untuk menghubungi atau mencariku. Sudah jelas bahwa ia tidak ingin bertahan bersamaku," bela Zamo terhadap dirinya.

"Kau pasti bahagia bersamanya. Mungkin tidak sekarang, tapi suatu saat nanti," ibu Zamo bangkit, "Ayo kita sarapan. Jangan membahayakan janinmu karena kau malas makan."

***

"Sebagai adikku, jangan jadi seseorang yang pecundang. Kejar dan cari istrimu. Jangan duduk diam di sini berharap keajaiban datang menghampirimu!" Pras murka dengan Louis. Tatapannya tak lepas dari adiknya itu.

"Aku tidak salah. Jangan menyudutkanku dan memihak pada Zamo!" bentak Louis frustasi sambil mengacak rambutnya.

"Suamiku ini tidak memihak pada siapapun. Dia hanya memberikan solusi demi keutuhan rumah tangga kalian," Resty turut murka dengan suami sahabatnya yang masih ia benci hingga kini.

"Urus saja urusanmu, Res," ucap Louis dengan tatapan menusuk.

"Jangan menyakiti wanitaku. Berhentilah menyakiti wanita manapun jika kau masih ingin memiliki hubungan darah denganku!" ancaman Pras sukses membuat Resty senang bukan kepalang.

Pras menepuk pundak Louis. Dia tersenyum smirk dan beralih menuju istrinya. Pras melingkarkan lengannya di pinggang Resty, kemudian mengecup pipi wanita yang dicintainya itu dengan lembut.

Perfect StormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang