(6) Sixth

2K 221 16
                                    

Seorang pria menyeruput teh hangat sambil memeriksa e-mail yang masuk.  Perusahaan ini sekarang jauh berkembang sangat pesat. Watterdam Company adalah perusahaan yang awalnya bergerak di bidang property and resort. Perusahaan ini telah menembus internasional berkat kesuksesannya. Yang paling menonjol dari perusahaan ini adalah apartemen yang mereka miliki dengan harga ratusan hingga miliaran. Tak lupa pula dengan hotel dan villa yang tersebar hampir seluruh wilayah Indonesia. Bahkan mereka juga memiliki mall skala besar yang telah memiliki banyak cabang di Indonesia. Tentu saja hal ini tak luput dari usaha keras sang Presiden Direkstur, Rudolf Watterdam.

Tok..tok..tok...

"Masuk."

Tampak sesosok pria jangkung membuka pintu, kemudian menutupnya dengan sopan. Dia berjalan menuju ke meja sang atasan dengan beberapa lembaran kertas yang dibawa.

"Permisi, Pak. Ini laporan yang bapak minta," ucap Tom sambil memberikan beberapa lembar kertas pada Affan. 

Affan pun mengambil alih kertas tersebut sambil tersenyum tipis.

"Duduklah!"

Tom mengangguk dan langsung ia laksanakan.

"Well, kamu yakin sama sekali tidak ada kejanggalan pada laporan keuangan bulan ini?"

Tom mengangguk mantap. "Iya, Pak. Saya sangat yakin. Seperti yang telah bapak cek."

"Bagus. Kamu selalu bekerja dengan baik, Tom. Saya sangat senang kamu setia bekerja di sini," kata Affan yang memang sangat percaya pada pria itu.

"Terima kasih banyak, Pak," balas Tom sambil membungkukkan badan.

"Kau bisa keluar sekarang!" perintah Affan yang langsung dihadiahi anggukan lagi oleh Tom. 

"Tunggu! Tolong suruh Zamo ke sini. Saya ingin cepat," sambung Affan.

Sepeninggal Tom, Affan kembali menyeruput teh hingga habis, lalu beralih lagi pada layar laptop. Terdengar suara ketukan yang kedua kali untuk hari ini.

"Masuk."

"Bagaimana keadaanmu?" tembak Affan.

"Saya baik, Pak," jawabnya sambil menyunggingkan senyum enggan, meskipun dalam posisinya yang menunduk.

"Saya minta maaf, Pak," lirihnya dengan pelan. Affan langsung bangkit dari kursi dan menghampirinya.

"Kejadian tadi malam lupakan saja, Zamo. Lihat! Hari ini aku masih bisa bekerja dengan baik," kata Affan yakin.

Affan menatap Zamo dengan lembut. Senyumannya hilang setelah melihat kedua mata Zamo yang meninggalkan bekas menghitam seperti kantung mata.

"Zamo, kau tidak tidur semalam? Apa kau terus menangis?"

Tangan Affan terulur menuju kedua pipinya yang telah basah. Affan menghapus air mata yang mengalir deras. Hatinya pun ikut tersayat-sayat melihat Zamo menangis.

"Affan.. Maafkan aku. Maaf.."

Hanya itu yang keluar dari bibir mungilnya. Affan rasa wanita itu lupa kesepakatan dengan yang mereka buat. Sedangkan Zamo masih terisak. Affan membawanya dalam pelukan hangat yang ia berikan.

Sepuluh menit adalah waktu yang lama jika hanya digunakan untuk menenangkan Zamo yang dilipur lara. Setelah puas membuang-buang air mata, ia berhenti dan mendongak.

"Maaf, Pak. Ini kantor dan saya bersikap tidak sopan pada atasan saya sendiri." 

Zamo tersentak dan merapikan posisinya semula. Dia membersihkan pipi lembab oleh bekas air mata yang mengering menggunakan tisu.

Perfect StormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang