42 : There's no way back home

1.3K 100 9
                                    

Julian merasakan sesuatu yang basah jatuh diatas dahinya. Pemuda itu mengernyit, kemudian bagaikan diguyur hujan dari kegelapan malam, bertonton air diguyurkan tepat di atas kepalanya. Julian bergegas bangun dengan tergopoh-gopoh ketika rasa dingin mendera tubuhnya. Ia mendongak menatap pria di depannya yang tersenyum meremehkan, "Lihatlah! Seorang raja yang kini menjadi budak" ujarnya mengejek, kemudian tertawa melalui hidungnya.

Pria itu segera meninggalkan Julian yang sudah bangun tersebut begitu saja. Julian mengernyit, dimana lagi kah ia. Pemuda itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling nya. Sel sel yang masih sama, tentu saja ini penjara. Namun dinding yang berbeda. Dinding yang terbuat dari batu sungai berlumut. Berarti ia sudah sampai di penjara bawah tanah kerajaan. Secepatnya Julian harus menemukan Mese. Pemuda itu meloncat bangun kemudian berjalan menuju pintu sel untuk mengamati kondisi penjara yang minim pencahayaan ini. Tidak ada seorang pun yang menjaganya tepat di pintu sel.

Ruangan ini sangat sepi dan hanya berisi satu sel yang ditempati dirinya. Berarti ia benar-benar diisolasi disini sendirian. Julian mengamati satu persatu kemungkinan celah untuk menyelamatkan gadis itu dan membawanya pulang. Namun tak ditemukannya secuil lubang apapun yang bisa menghubungkannya dengan dunia luar. Tengah mengamati. Pintu yang berada diujung ruangan itu, terbuka sepenuhnya menampakkan lusinan penjaga yang berbaris memasuki ruangan tempatnya berada. Seorang pria yang memakai helm menyerupai sikat toilet tersebut diikuti dua penjaga lainnya membuka pintu sel Julian.

Julian benar-benar tidak bisa membayangkan jika helm yang selalu dilihatnya ketika menonton film film berbau romawi seperti Gladiator, Pompeii, Night at the Museum, Cleopatra, atau karya karya Jules Verne lainnya yang pernah dibaca nya ternyata benar-benar nyata di jaman ini. Ia bersyukur bisa terjun langsung ke dalam kehidupan Romawi dan menyaksikan bagaimana mereka membentuk kehidupannya. Julian bersumpah, setelah ini ia akan mengabdikan dirinya dalam hal berbau sejarah Mesir dan Romawi. Karena pada awalnya, Julian sedikit kebingungan untuk meneruskan jenjang pendidikan yang akan ditekuninya,

Bunyi gerendel pintu yang dibuka menyentakkan Julian dari lamunannya, mau tak mau pemuda itu harus menyeret kembali sisa angan-angan yang berembun di permukaan otaknya untuk melihat kenyataan. Dua orang penjaga segera menggamit bahu Julian dan menarik pemuda itu dengan kasar segera. Mereka membawa Julian menyusuri sebuah sayap gedung kerajaan yang lebarnya bisa mencapai dua ruang kelas di sekolahnya. Di sepanjang koridor berdiri tiang tiang penyangga yang kokoh berwarna putih gading. Terlihat kuat dan indah secara bersamaan akibat desain ukiran-ukiran di ujung pilar-pilar kerajaan tersebut.

Tak lupa, nyala obor di dalam lentera keperakan tersebut bersinar berkilauan memender karena cahaya bulan yang terpancar menembus sela-sela pilar malam itu. Julian berdecak mengagumi bagaimana desain interior yang bisa mereka ciptakan dalam 30 abad SM masehi. Padahal jika mengingat bahwa sudah hampir 2300 tahun dari jamannya sekarang yang super canggih, rasanya tidak mungkin manusia biasa bisa membuat ini semua. Julian pernah berpikir, bahkan membenarkan ucapan para Arkeolog yang mengatakan bahwa Emperor Romawi dibantu oleh maklhuk asing ketika membangun bangunan-bangunan luar biasa seperti Colosseum.

Jika tidak dibantu bagaimana bisa mereka membangun tempat seindah dan sehebat Colosseum. Yang tidak bisa dirasionalkan adalah bagaimana membuat batu-batu seberat kiloan ton itu berdiri tegak membentuk segitiga dengan sudut dan kemiringan yang sangat pas. Tak ada satupun perhitungan yang meleset dari penataan batu-batu itu sehingga dilihat dari segi manapun tidak dapat kita jumpai bentuk yang melenceng dari sebuah piramida. Julian meringis saat salah seorang penjaga menyeret pergelangan tangannya paksa membuat borgol dari besi yang sangat pas ditangannya tersebut menggores permukaan kulitnya perlahan. Mereka membawa Julian ke depan pintu ruangan super besar berlapis ke emasan dengan ukiran ukiran yang indah. Kepala penjaga itu mendorong pinru tersebut dengan sedikit kekuatannya agar pintu itu terbuka, menampakkan sederetan orang orang yang sudah berjajar rapi duduk diantara kursi kursi dari perunggu yang apik nan megah dengan karpet beludru bermotif etnik yang Julian yakini asli terbuag dari kulit binatang. Nyala puluhan obor yang memenuhi seluruh ruangan tersebut membuatnya terlihat sangat terang dan riuh. Di ujung ruangan, berdiri singgasana sang raja yaitu Octavianus duduk dalam diam menatap Julian dengan pandangan menyipit tajam disampingnya berjajar prajurit prajurit kepercayaan dan jendral besar nya--Cassius--. Julian merasa begitu terintimidasi dari sebuah tatapan yang diberikan Octavianis tersebut seolah menyuarakan bahwa ia berada pada teritorial wilayahnya, ia tengah berlindung di dalam kekuasaan pria itu.

PHARAOH [Book One] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang