"Hai Aaron, gue Bianca." Sahut seorang cewe pada Aaron saat istirahat.
Aaron hanya tersenyum.
Cewe di hadapan Aaron bernama Bianca. Tingginya 164 cm. Rambut ikal panjang. Tubuh ramping. Cantik dan pintar.
Tiba-tiba Nikita masuk ke dalam kelas.
"Eh.. anak miskin masuk.. pasti habis dihukum lagi ya?" Ejek Bianca.
Aaron kaget melihat Nikita yang ternyata berada satu kelas dengannya. Aaron juga kaget melihat tingkah Bianca.
"Berisik lo !" Timpa Nikita.
"Astaga.. ramah dikit dong. Ada anak baru nih. First impression lo pasti udah jelek di mata dia. Ya kan ron?"
Aaron? Nikita merasa familiar dengan nama itu.
Dilihatnya ke arah Bianca.
Astaga. Anak itu.
"Lo lagi?" Reflek Nikita.
"Heh ! Sopan dikit dong ! Ga usah sok kenal gitu !" Sahut Bianca
"Yaudah biasa aja napa ! Ga usah pake nyolot."
"Siapa yang nyolot hah?!"
"Lo yang duluan nyolot !"
"Apaan sih lo?!"
Amarah Nikita menjadi tak terkendali. Dia berjalan mendatangi Bianca.
"Ew ngapain lo deket-deket? Ih liat tuh lo keringetan gitu astaga. Keringet orang miskin ga level lah ya, bahkan kalau dijual keringet gue bakal lebih mahal harganya."
Nikita tertawa terbahak-bahak.
"Dasar oon ! Siapa juga yang mau beli keringet hah? Lo jual aja tuh keringet lo sampe bodo !" Sahutnya lalu ketawa lagi.
"Heh ! Udah berani ya lo !"
"Kenapa gue harus takut?"
"Lo seharusnya malu karena lo itu miskin !"
"Gue miskin tapi gue bahagia !"
"Masa sih? Ah hidup lo itu penuh dengan kepahitan !"
Amarah Nikita semakin memanas. Langsung ditariknya dasi Bianca lalu dipakainya dasi itu untuk mengelap keringatnya.
"Heh ! Balikin !"
Nikita melempar dasi Bianca tepat di wajah Bianca.
"Makan tuh keringet orang miskin !" Sahutnya.
Bianca melihat dasinya yang sudah kumel tidak jelas.
Tiba-tiba dia menyenderkan kepalanya di bahu Aaron.
"Ronn.. liat deh dasi aku ron.. sakit tau ga digituin.."
Aaron tidak tahu apa-apa dan hanya aneh dengan kejadian yang terjadi di hadapannya tadi.
Dia sedikit risih dengan perlakuan Bianca.
"Hhmm.. guru dateng tuh."
Bianca dengan sigap langsung menegakkan tubuhnya. Jika dia ketahuan seperti ini, pasti poinnya akan dikurangi.
"Anak-anak duduk semuanya."
Semua anak kembali ke tempat duduknya dengan rapi.
"Karena Aaron anak baru di sini dan poinnya masih 0, bagaimana jika ibu menambahkan 100 poin awal untuknya. Kalian setuju?"
Semua siswa berdiskusi kecuali Nikita.
"Yaudah deh bu setuju."
"Baiklah."
"Bu !" Tiba-tiba Bianca mengangkat tangannya.
"Ya Bi?"
"Poin saya sekarang berapa bu?"
Semua siswa mulai bicara lagi berbisik-bisik.
"Ah dia udah pasti punya poin tertinggi ngapain masih nanya sih."
"Apa dia mau show off ke Aaron gitu? Mentang-mentang Aaron ganteng kan."
"Ngapain sih dia nanya kalau udah tau poin dia paling tinggi?"
Kurang lebih seperti itu yang mereka bicarakan.
"Kamu.. 854 poin."
Bianca tersenyum puas.
"Bu !"
"Ya apa lagi bi?"
"Kalau si nikita berapa poinnya?"
Nikita merasa namanya disebut-sebut tapi dia tetap cuek dan pura-pura tertidur.
"Nikita.. minus 450 poin."
Seluruh kelas tertawa.
Hanya Aaron yang diam. Entah apa maksudnya poin-poin ini.
"Ah ya karena hari ini Nikita terlambat masuk sekolah, poinnya menjadi minus 460."
Seluruh kelas tertawa lagi.
Ah, Aaron mulai mengerti.
Pintar tidaknya, baik tidaknya dan ranking siswa di sini ditentukan oleh poin.
"Sekian dulu dari ibu. Terima kasih."
KAMU SEDANG MEMBACA
DREAM CATCHER
Teen Fiction"Ini, buat lo." Sahut Aaron sambil memberi sebuah dream catcher. "Apa?" Tanya Nikita "Gue cape ngeliat lo nguap terus-terusan gara-gara lo ga tidur semaleman. Ini kerja kelompok, gue ga mau nilai gue jelek gara-gara lo." "Terus?" "Kata orang, dream...