PART 12

1K 73 1
                                    

Akhirnya mereka sampai di depan sebuah pohon yang sangat besar. Pohon setinggi 3 atau 4 meter yang di atasnya terdapat sebuah rumah kecil dari kayu.

"Lo bisa naiknya?"

"Hm, kaki gue ga apa-apa kok."

Nikita pun mulai memanjat menaiki tangga kecil.

Aaron hanya melihat Nikita memanjat.

Bener cewe kuat, gue tau kakinya pasti sakit tapi dia selalu bilang kalau dia ga apa-apa, batin Aaron.

"Heh ! Diem aja. Naik lah. Atau jangan-jangan... lo takut ketinggian ya?"

Suara Nikita membuyarkan lamunan Aaron.

Aaron pun langsung ikut naik ke atas.

Tempatnya kecil, mungkin hanya cukup untuk 2 orang. Tidak ada hal yang menarik, hanya ruang kosong.

Aaron dan Nikita diam di atas untuk beberapa saat.

"Lo kenapa tadi bisa tiba-tiba nolongin gue?"

"Entah, gue cuma penasaran apa rasanya kabur dari sekolah."

"Jadi lo ga pernah kabur dari sekolah sebelumnya?"

"Belom. Dan sekarang gue tau rasanya kabur dari sekolah."

"Apa rasanya?"

"Bebas."

Nikita tertawa.

"Kenapa ketawa?"

"Lucu aja sih. Memang kabur dari sekolah itu rasanya bebas, semua beban kaya ilang."

"Iya." Aaron pun tertawa kecil.

"Apa yang buat lo pindah ke sekolah yang sekarang?"

Aaron diam.

"Papa gue. Gue juga pindah rumah jadi ya masuk ke sekolah ini. Kalo lo?"

"Mama maksa gue. Sebenernya gue lebih suka sekolah di sekolah yang biasa, ga perlu sekolah bagus. Tapi mama maksa. Gue ga betah dan ga suka sekolah di sekolah ini."

"Ga suka kenapa?"

"Entahlah memang ga suka aja. Semua serba pake poin, terus ketat banget peraturannya contohnya yang tentang makan di kafetaria itu. Kan kasian orang yang ga berpunya kaya gue. Nih ya, kalau gue ketemu sama yang punya sekolah, gue bakal protes."

Aaron diam. Ada perasaan bersalah dalam dirinya walaupun itu bukan salahnya.

"Lo bakal protes gimana? Coba ceritanya sekarang lo lagi protes ke yang punya sekolah sekarang."

"Pa atau bu, maaf ya bukannya saya frontal, tapi saya cuman mau bilang apa yang saya rasain. Saya tertekan pa, bu. Sekolah di sini membuat saya tertekan. Pertama, karena sistem poin di sekolah ini. Setiap semua yang saya lakuin selalu salah di mata semua guru, poin saya pun terus berkurang bahkan udah sampai minus, saya berbuat baik pun tidak pernah menambah poin saya. Lalu tentang kafetaria, baiklah saya akui memang biaya sekolah saya belum lunas, tapi untuk hal makanan tolong beri toleransi. Masa saya harus mati kelaparan. Saya memang minoritas di sini, tapi saya meminta keadilan."

Aaron diam mendengar perkataan Nikita. Kata tiap kata dia cerna dengan baik.

"Lo dengerin gue ga sih?"

"Iya gue dengerin kok dari tadi."

Untuk beberapa saat mereka diselimuti keheningan.

"Rumah pohon ini.. lo yang buat sendiri?" Tanya Aaron.

Nikita diam, teringat olehnya semua masa lalunya.

"Niki.. niki.. papa punya hadiah."

"Wah hadiah apa pa?"

"Niki mau liat?"

"Mau pa ! Niki sukaaa hadiah."

"Kalau gitu Niki tutup mata dulu ya."

Nikita kecil pun menutup mata. Papa menggenggam tangannya. Genggaman itu masih terasa sampai sekarang. Papa menuntunnya ke sebuah tempat tak jauh dari rumah.

"Kalau papa bilang tiga, Niki buka mata ya."

"Oke pa."

"1..2..3.."

Nikita kecil membuka matanya. Senyuman terlukis indah di wajahnya.

"Wahhh rumah pohon !"

"Iya, Niki suka kan?"

"Suka banget !"

"Nih papa mau nulis sesuatu."

Papa mengambil sebuah pahatan dan mulai memahat menulis sesuatu di pohon.

Papa sayang Niki.

"Coba Niki baca."

"Pa pa.. sa ya ng.. Ni ki." Sahut Nikita sambil mengeja.

"Iya Niki hebat sudah bisa membaca."

"Niki juga sayang papa."

Mereka tertawa dan naik ke rumah pohon bersama.

"Nik?"

"Eh iya hmm.. papa gue yang buat waktu gue masih kecil."

"Papa lo pasti orang yang baik."

Ga Ron, lo salah..

Nikita hanya tersenyum.

Duarr !!

Tiba-tiba bunyi guruh terdengar keras.

Nikita langsung merangkak ke ujung dan duduk meringkukkan badannya.

Hujan pun turun.

Badannya mulai bergemetar. Rasa takut mulai menghantuinya. Trauma yang begitu berat.

"Nik.. lo ga apa-apa?"

"Hm." Nikita mengiyakan.

Aaron tidak mengerti ada apa dengan Nikita.

Aaron melepas jaket biru yang sedari tadi dipakainya. Dia memakaikan jaket itu pada Nikita.

Tapi badan Nikita tetap bergemetar hebat.

"Nik lo kedinginan?"

"Ga." Jawab Nikita singkat.

Suara guruh mulai terdengar lagi.

Apa dia takut suara petir? Tanya Aaron dalam hati.

Aaron mengeluarkan earphone dan handphone dari sakunya.

Dipakaikannya earphone itu ke telinga Nikita dan Aaron mulai memainkan lagu di handphonenya.

Lagu dengan alunan yang lembut.

Nikita menatap ke arah Aaron.

Aaron tersenyum.

"Gue di sini."

Nikita menelungkupkan kepalanya sambil kembali meringkukkan badannya.

Mereka tetap di sana, sampai hujan reda.

DREAM CATCHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang