Part 30

902 58 3
                                    

Aaron melipat jas lengan panjangnya. Hari ini hari yang penting karena untuk pertama kalinya dia akan melihat seperti apa calon mama barunya itu. Tapi tetap saja, tidak akan yang dapat menggantikan mama di hati Aaron.

Dia berdiri di depan sebuah cermin besar. Dengan kemeja putih, sepatu dan celana hitam, serta jas hitam yang tidak terlalu formal. Aaron terlihat sangat tampan dan keren.

Aaron berdeham kecil.

"Ron, papa tunggu di mobil ya."

"Ya pa.."

---

Aaron terdiam menatap semua alat makan di depannya. Calon mama barunya ternyata belum datang.

Papa menepuk pundak Aaron halus sambil tersenyum. Aaron membalas senyuman papa.

Aaron menatap keluar jendela. Sekilas seorang perempuan lewat dari kejauhan memakai sebuah dress biru. Dress yang sama persis dengan dress yang dibelinya untuk Nikita. Aaron langsung menggelengkan kepalanya dan mengedipkan matanya berkali-kali. Perempuan itu hilang entah kemana. Apa ini karena dia terlalu merindukan Nikita? Apa dia berhalusinasi? Aaron terus menerus memperhatikan keadaan di luar jendela. Apa dia salah lihat? Apa itu tadi Nikita? Pertanyaan itu terus mengiang di otaknya.

"Ah kau sudah datang." Suara papa mengagetkan Aaron. Sontak Aaron langsung melihat ke depan dan bangkit berdiri.

"Saya Aaron." Sahut Aaron sambil membungkukkan badannya lalu melihat ke arah jendela lagi.

"Saya Nikita." Sahut seorang perempuan sambil membungkukan badannya.

Sontak Aaron langsung melihat ke depan. Benar. Nikita.

Dadanya langsung terasa sesak. Perasaannya menjadi tidak enak. Dia yakin, sesuatu yang buruk pasti akan terjadi.

"Aaron? Kamu temannya Nikita kan?" Tanya mama Nikita.

"Jadi kalian sudah saling kenal?" Tanya papa.

Aaron dan Nikita hanya tersenyum.

"Hai.. Nik.." sahut Aaron canggung. Bahkan untuk menyapanya saja sudah membuat hatinya sakit. Tenggorokannya kering. Senyum yang terpancar bukanlah senyum bahagia, tapi senyum kekecewaan.

"Ayo silakan duduk." Sahut papa ramah.

Aaron melihat Nikita yang sedari tadi menunduk. Tidak mungkin Nikita tidak menyadari Aaron yang berada di depannya. Tapi Nikita tetap terus menundukkan kepala. Dan dress itu. Dress yang kemarin dibelinya.

"Ini pesanannya." Seorang pelayan membawa makanan yang sudah dipesan papa.

"Terima kasih. Boleh saya meminta saus tomat?" Sahut mama Nikita.

"Oh iya bu, silakan tunggu sebentar." Jawab si pelayan ramah.

Nikita tidak berkata apapun. Kepalanya terus tertunduk.

"Jadi, kalian sudah saling kenal? Apa kalian teman sekolah?" Tanya papa memulai pembicaraan.

Aaron menatap Nikita yang hanya diam. Sehingga dia yang harus menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan.

"Iya pa." Jawab Aaron berusaha tersenyum.

"Ini saus tomatnya."

"Ah terima kasih banyak."

Si pelayan tersenyum sambil membungkukkan badan.

"Ini nik saus tomatnya."

"Jadi, Nikita menyukai saus tomat?"

Nikita hanya diam. Sepertinya dia melamun. Hingga mama menyenggol sikunya pelan dan membuatnya tersadar.

"Oh iya om." Jawab Nikita sambil tersenyum. Aaron tahu senyum itu bukan senyum yang biasa dilihatnya. Senyum itu bukan senyuman tulus dari seorang Nikita.

"Jangan canggung seperti itu. Sebentar lagi kan kita akan menjadi keluarga."

DEG.

Palu yang sangat besar seakan menghantam hati Aaron dan Nikita. Sakit. Perih. Semuanya seakan gelap.

Keluarga, adalah satu kata yang indah. Tapi kini mendengarnya saja terasa menyakitkan.

"Kalau begitu, apa Aaron akan menjadi kakaknya Nikita atau Nikita yang akan menjadi kakaknya Aaron?" Tanya mama Nikita.

"Sepertinya Aaron yang akan menjadi kakaknya Nikita. Ya kan ron?"

Aaron mengangguk sambil terpaksa tersenyum.

---

Makan malam telah selesai. Sekarang mereka semua sedang berbincang-bincang. Tidak. Bukan mereka semua. Karena Aaron dan Nikita sedari tadi hanya diam tanpa kata.

Tiba-tiba ponsel Nikita berbunyi. Telepon dari Renata.

Nikita menatap papa Aaron, mama, dan Aaron secara bergantian.

"Saya permisi sebentar." Sahutnya sambil tersenyum lalu pergi meninggalkan mereka.

"Saya juga permisi sebentar." Sahut Aaron tersenyum lalu pergi.

"Mungkin kita butuh waktu untuk berdua." Sahut papa Aaron tersenyum sambil menatap mama Nikita.

---

"Halo ta? Ada apa?"

"Nik, lo ga apa-apa? Feeling gue ga enak nih."

Nikita tersenyum. Hatinya sangat sakit dan napasnya terasa berat. Air matanya rasanya ingin keluar.

"Gue ga apa-apa kok."

"Seriusan lo?"

"Iye jangan khawatir deh. Mending lo tidur."

"Mmm.. oke deh. Kalau ada apa-apa telepon gue ya."

"Siap bos." Nikita menutup pembicaraan mereka.

Fyi, Nikita sekarang sedang berada di taman restaurant. Taman yang luas dengan rerumputan dan bebatuan, diterangi lampu taman yang kuning.

Nikita menaruh ponselnya di tas dan membalikkan badan.

DEG.

Aaron sudah berdiri di situ.

Melihat wajahnya membuat hati Nikita sakit. Nikita menelan ludahnya untuk membasahi tenggorokkannya yang kering lalu berjalan melewati Aaron.

Sayang, lengannya ditahan oleh Aaron. Nikita menggigit bibir bawahnya sambil berusaha menahan air matanya. Dia mengibaskan tangannya sehingga tangannya bebas dari genggaman Aaron.

"Mereka lagi menghabiskan waktu berdua. Sebaiknya kita ga ganggu mereka." Sahut Aaron datar. Aaron berusaha setenang mungkin walaupun hatinya kacau.

Aaron menatap Nikita yang sedari tadi hanya menunduk. Matanya berkaca-kaca, Aaron tahu itu. Bahkan bagaimana rasa sakit yang dirasakan Nikita, Aaron tahu persis seperti apa perihnya.

Aaron menarik tangan Nikita halus dan membawanya duduk di sebuah bangku taman di samping lampu taman.

Nikita hanya diam tak berkutik. Aaron menelan ludahnya dan menghela napas. Rasanya sangat sakit dan bahkan dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

Aaron melepas jasnya dan menyelimutkan jas tersebut pada tubuh Nikita. Nikita menggigit bibir bawahnya. Rasa sakit yang kini semakin terasa.

Mereka berdua tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Kacau. Semua kacau.

Nikita terus menerus menahan air matanya. Hingga di saat dirinya tidak dapat membendung itu semua, air matanya mengalir perlahan.

Aaron mengetahui itu. Dia juga tidak dapat melakukan apa-apa. Dia tidak ingin ada setetes air mata pun yang keluar dari mata Nikita. Walaupun kini dirinya juga sangat kecewa, sangat kacau dan rasanya sangat sakit.

Aaron menatap Nikita lalu memeluknya hangat. Dan di situlah, tangisan Nikita meledak. Suara tangisan yang membuat hati Aaron semakin teriris. Aaron terus menerus mengelus rambut Nikita. Berusaha menenangkan Nikita.

Tapi tangisan Nikita tidak kunjung berhenti. Tangisan itu meledak dalam pelukannya.

Aaron menutup matanya. Berharap ini semua hanya mimpi. Berharap ini semua tidak pernah terjadi. Jangan terjadi. Tak disadarinya, air matanya juga menetes.

Tolong.. ini semua cuma mimpi kan?

DREAM CATCHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang