Box itu sangat berdebu. Warna yang tadinya terlihat indah, kini sudah memudar. Walaupun sudah memudar, tetapi sesuatu di dalam sana tidak pernah memudar.
Aaron membuka box berwarna biru pastel itu. Dilihatnya banyak foto-foto keluarganya.
Di satu foto, terlihat Aaron yang berumur 5 tahun sedang berlari memecahkan gelembung yang ditiup oleh mama dan papanya. Di foto lain, terlihat foto Aaron, mama, dan papa sedang berlibur bersama ke Paris. Aaron yang waktu itu memenangkan pertandingan basket di sekolahnya, berfoto bersama mama yang sudah terlihat pucat, mama berusaha untuk tersenyum.
Air mata Aaron menetes. Kerinduannya sangat dalam pada mamanya. Dia tahu, dia harus kuat. Tapi di saat seperti ini, salahkah bila seorang laki-laki menangis?
Mama berjanji akan datang ke kelulusannya saat sekolah dasar. Tapi mama ingkar janji. Mama pergi meninggalkan Aaron. Juara umum satu yang diraihnya serasa sia-sia bila dia tidak dapat menunjukkannya pada mamanya. Aaron tidak dapat melihat senyuman bangga mamanya saat namanya dipanggil ke depan dan mendapat piala.
Tidak. Bukan salah mamanya. Semua ini karena kanker yang menyerang mama. Walaupun mendapat dukungan dari orang banyak, tapi tetap saja mama harus berjuang sendirian melawan kanker itu. Dan akhirnya... kanker itu menang. Aaron tahu, mamanya sudah sekuat tenaga berjuang, tapi mungkin takdir berkata lain.
Tok. Tok. Tok.
Suara ketukan pintu terdengar. Aaron mengusap air matanya dan membuka pintu kamarnya.
Papa.
"Papa mau bicara sebentar."
Aaron mengikuti ayahnya ke ruang keluarga.
Papa mendeham kecil. Bingung mulai darimana.
"Papa mau menikah lagi."
DEG.
Mata Aaron langsung membuka lebar menatap papa.
"Papa meminta persetujuanmu."
Aaron tetap diam.
"Tidak perlu menjawabnya sekarang. Pikirkanlah saja dulu." Sahut papa cepat.
Keheningan menyelimuti seisi rumah.
Apa papanya dapat melupakan mama begitu saja? Apa papa benar-benar sudah melupakan mama?
Aaron berdeham kecil lalu menunduk.
"Aaron mau keluar sebentar pa. Udah ada janji sama temen." Sahut Aaron bangkit berdiri.
"Ron.."
"Tentang itu pasti Aaron pikirin." Jawab Aaron pergi keluar rumah.
---
Apa papa udah ngelupain mama?
Pertanyaan itu terus mengiang di pikiran Aaron. Sampai kapanpun, ga bakal ada yang bisa gantiin mama.
Aaron berjalan tanpa tujuan dan arah. Kemanapun kakinya ingin berjalan dia ikuti. Menyusuri jalanan gelap dengan remang-remang lampu jalan yang menerangi.
Hingga ujung matanya menangkap bayangan seorang perempuan. Berjalan sendirian juga. Memegang sesuatu di tangannya.
"Nikita?"
Perempuan itu menengok. Benar. Nikita.
"Aaron? Lo ngapain di sini?"
"Gula kapas?" Aaron mengerutkan dahinya.
Nikita tersenyum malu.
"Iya. Gue beli di pasar malem."
Aaron tertawa kecil.
![](https://img.wattpad.com/cover/56822378-288-k956924.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DREAM CATCHER
Teen Fiction"Ini, buat lo." Sahut Aaron sambil memberi sebuah dream catcher. "Apa?" Tanya Nikita "Gue cape ngeliat lo nguap terus-terusan gara-gara lo ga tidur semaleman. Ini kerja kelompok, gue ga mau nilai gue jelek gara-gara lo." "Terus?" "Kata orang, dream...