SORE yang cerah, di halaman belakang sebuah rumah yang luas. Seseorang berjalan sembari memantulkan bola basket menuju sebuah rumah pohon. Bukan rumah pohon pada umumnya yang berada tinggi di atas pohon, bangunan kecil itu berada di tengah batang pohon, hanya setinggi dua meter dari atas tanah.
Bentuknya persegi, dengan luas sekitar dua meter persegi. Tidak ada pintu di sana, hanya lubang setengah lingkaran tanpa penutup. Ada dua jendela kecil diantaranya yang hanya tertutup kain berwarna biru, yang mana selalu berkibar-kibar tertiup angin.
Lio, nama yang tertulis di kaus jersey basket berwarna kuning tanpa lengan itu berhenti memantulkan bolanya, dia melihat seorang gadis duduk di tangga yang tengah sibuk dengan kamera kecil di tangannya sampai-sampai tidak menyadari kehadirannya.
"Lexa dimana?" tanya Lio.
Gadis itu tidak menjawab. Merasa tidak mendapat respon, laki-laki itu memanggilnya, "Luna..."
Luna bergumam menanggapinya.
"Lexa dimana?" Tanpa merubah nada bicara, laki-laki yang helai rambutnya hampir menutupi telinga itu mengulang pertanyaannya.
Luna menurunkan kamera kecilnya, mengedarkan pandangannya ke sekeliling, menatap Lio, lalu menggeleng, dan kembali pada kameranya.
Laki-laki itu mendesah lelah, bukan karena respon Luna yang seperti itu, melainkan karena dia tidak bisa menemukan Lexa dimanapun.
Lio menaiki tangga kecil di depannya lalu duduk di samping Luna, meletakkan bolanya di atas pangkuan. Wajahnya yang cemberut ia tumpukan di atas bola oranye itu.
Lio menyadari bahwa terkadang keheningan membuat waktu berjalan lebih lambat. Menghembuskan nafas bosan, masih dengan kepalanya di atas bola, Lio menoleh ke samping, menatap Luna yang terlihat begitu serius melihat hasil jepretannya hingga tak memerdulikan helaian rambutnya yang tidak terikat sempurna itu menutupi sebagian wajahnya.
Risih melihat rambut itu, iseng Lio meniupnya, masih dari posisinya.
Luna mengerjap kaget, memberi Lio tatapan kesal untuk sekian detik sebelum akhirnya kembali sibuk pada benda kotak itu lagi.
Bahunya bergetar kecil, Lio terkekeh tanpa suara.
"Lagi ngapain?" tanya Lio basa-basi.
Tidak ada jawaban.
"Oh, jadi sang fisikawan mau alih profesi jadi fotografer?"
Tetap tidak ada jawaban.
Diliriknya sebingkai kacamata yang bertengger di atas kepala Luna. "Emang nggak pakai kacamata bisa lihat? Nggak blur, gitu?" Lio terkikik.
Hanya terdengar suara klik dari kamera, lalu hening. Masih tidak ada jawaban.
Tidak menyerah, Lio menegakkan punggungnya. "Boleh pinjem nggak?"
Lio berhasil membuat Luna menoleh. Luna menatap Lio dengan mata memicing. Baiklah, itu artinya "Tidak". Lio memutar bola matanya, mendatarkan bibirnya, menyerah.
"Lio!"
Lio sedang memutar bolanya di atas jari telunjuk saat seseorang memanggilnya. Dari kejauhan Lexa berlari. Rambut sebahunya berkibar kesana kemari, membuat Lio geli melihatnya.
Di depan tangga, Lexa berkacak pinggang, mengatur napasnya yang sedikit terengah.
Pandangan Lio tertuju pada bungkusan putih yang dibawa Lexa.
"Bawa apa, Lex?"
"Kok lo nggak bilang mau kesini?" tanya Lexa tanpa menghiraukan pertanyaan Lio sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aluna & Alexa
Teen FictionCerita ini adalah tentang sepasang saudara kembar Aluna dan Alexa. Aluna dan Alexa tak pernah terpisahkan. Sebagai anak yang terlahir tanpa mengenal ibu, keduanya tumbuh dengan ikatan yang sangat kuat. Saling menyayangi dan melindungi. Namun selal...