Flashback
Tujuh tahun yang lalu...
Luna senang sekali saat Papa bilang akan mengajaknya ke taman sebelum menjemput Lexa dari tempat lesnya. Papa bilang dia boleh jajan apapun yang dia mau disana. Bukan tanpa alasan, Papa memberikan itu semua sebagai hadiah karena dia mendapat nilai sempurna di ujian matematika.
Tapi itu semua hanya "Papa bilang", karena saat mereka hendak keluar rumah, bel berbunyi. Sudah sepuluh menit lamanya Luna duduk di kursi ruang makan, melampiaskan kekesalannya pada setoples biskuit cokelat.
"Loh, nggak jadi keluar, Non?" tanya Bi Rum yang datang dari arah dapur.
Luna menggeleng dengan pipi menggembung sebelah. "Ada tamu," ucapnya dengan nada kesal dan volume yang sengaja dikeraskan, berharap Papa mendengarnya.
"Siapa?"
"Temennya Papa."
Luna terlalu sibuk dengan biskuit cokelat dan kekesalan di kepalanya hingga tak menyadari jika Bi Rum sudah menghilang. Perhatiannya baru terusik saat seseorang datang dan membuka pintu kulkas.
Siapa tuh, enak banget buka-buka kulkas orang, batinnya saat melihat figur anak laki-laki dengan jeans selutut dan kaus Polo abu-abu yang dengan santainya terlihat memilih-milih sesuatu dari dalam kulkas tanpa sama sekali menyadari keberadaannya.
"Kamu siapa?"
Pertanyaan Luna membuat laki-laki itu akhirnya menghentikan aktivitasnya. Hanya menoleh lalu melanjutkan mencari-cari sesuatu tanpa sepatah katapun keluar, tidak perduli.
Luna mendengus, berniat tidak mau memerdulikan laki-laki yang dia sangka anak dari "tamu" Papa itu. Namun saat anak laki-laki itu menutup kulkas dan menenteng sebuah eskrim cup besar miliknya, Luna tidak tinggal diam.
"Mau apa kamu?"
Anak laki-laki itu melongo sesaat.
"Apa?""Itu kan punyaku," seru Luna menunjuk eskrim di tangan laki-laki yang terlihat seumuran dengannya itu.
"Kata Om Tama, aku boleh ambil apapun di kulkas," jawabnya polos.
"Tapi bukan eskrim punyaku."
"Kata Om Tama, apapun."
"Tapi itu punyaku!"
Laki-laki itu terlihat menimbang-nimbang, apakah harus mengembalikan es krim milik anak perempuan yang bibirnya belepotan biskuit itu atau tidak. Tapi dia memilih pemikiran kedua. Setelah mengambil sendok di dapur, laki-laki itu berjalan menuju ruang tengah.
Tak rela, Luna pun turun dari duduknya lalu mengejar pencuri es krim itu, yang ternyata sudah duduk nyaman di depan televisi yang menyala.
Sebelum anak laki-laki itu membuka tutup es krim itu, Luna berdiri berkacak pinggang lalu berseru dengan kesal.
"Udah aku bilang itu es krim punyaku!"
Yang dimarahi hanya mendongak polos.
"Tapi Om Tama--""Ambil apapun tapi jangan es krim itu!" Bentakan Luna membuat anak itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Melihat mata Luna yang berkaca-kaca, wajah yang memerah, dan bahu yang naik turun membuat anak itu akhirnya menyerahkan es krim itu pada Luna.
Luna menghapus dengan kasar setetes air mata yang berhasil lolos dari matanya dengan punggung tangannya. Dia kesal sekali, sebenarnya bukan sepenuhnya karena anak itu telah mencuri es krimnya tapi karena kehadirannya itulah yang membuat Luna batal pergi ke taman.
Luna menyahut es krim tersebut dengan kasar, lalu duduk di sebelah anak itu dan mulai memakan es krim tersebut dengan air mata yang tidak lagi ia tahan-tahan. Menonton kartun yang tidak disukainya sambil makan es krim dengan derai air mata kekesalan, Luna hampir tidak menyadari jika laki-laki itu memerhatikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aluna & Alexa
Novela JuvenilCerita ini adalah tentang sepasang saudara kembar Aluna dan Alexa. Aluna dan Alexa tak pernah terpisahkan. Sebagai anak yang terlahir tanpa mengenal ibu, keduanya tumbuh dengan ikatan yang sangat kuat. Saling menyayangi dan melindungi. Namun selal...