Selamat membaca :*
***
"Naik situ, aku yang dorong."
"Oke, tapi jangan kuat-kuat yah."
Anak laki-laki itu mengangguk, tapi dusta terukir di senyumnya.
Satu tangannya meraih pegangan besi dan tangan yang lain menggenggam permen lolipop, Luna duduk manis di bangku besi tanpa merasa curiga.
Tubuh kecil Luna terayun. Rambutnya tersapu ke belakang dengan lembut. Ia tersenyum lebar sambil terkekeh pelan.
Namun semakin lama ayunan terdorong semakin kencang. Senyumnya pudar begitu saja. Wajahnya memucat. Anak laki-laki itu tertawa. Semakin kencang ia mendorong semakin puas tawanya.
"Udah, berhenti!" jerit Luna.
"Nanti dulu, belum tinggi," balas anak laki-laki itu riang.
Semakin tinggi, semakin hilang suara Luna. Permen lolipop nya terlepas dan jatuh. Kedua tangannya meremas pegangan besi erat, matanya terpejam rapat, dan ia menunduk dalam-dalam.
Terbang tinggi lalu terhempas ke belakang menghantam angin. Lagi dan lagi, tanpa henti.
"Luna?"
"Udah!"
"Luna?"
"Udah, berhenti!"
"Nak, bangun. Papa disini, sayang."
Mata Luna terbuka, butuh beberapa saat untuk Luna sadar bahwa apa yang barusan terjadi hanyalah mimpi. Luna mengatur napasnya yang berkejaran dan menyadari bahwa ia benar-benar mencengram tangan papa begitu kuat, sangat kuat.
"Sebentar, Papa ambilkan minum." Tama beranjak pergi. Tapi, Luna merasa ia tidak melepas cengkraman tangannya.
Lalu ia menoleh, memfokuskan matanya, dan sadar yang ia cengkeram bukan tangan Papa.
Luna langsung melepasnya.
Papa kembali dengan segelas air di tangannya lalu memberikannya pada Luna. Setelah itu sorotan mata Tama berubah 180° saat ia memandang seseorang yang berdiri di sisi lain ranjang Luna.
"Nak..." Papa melirik name tag di dada laki-laki itu. "Jevin, bisa tolong panggilkan dokter sekarang." Tegas dan kaku, nada suara Tama membuat Luna mengerutkan dahi.
Sambil mengusap lengannya yang memerah, Jevin memandang Tama sekilas, mengangguk lalu pergi. Tatapan Tama baru berubah saat Jevin sudah menghilang dari pintu.
"Ada yang sakit, nak?"
Luna segera menggeleng. "Aku mau duduk."
Tama mengatur ranjang Luna hingga ia kini dalam posisi duduk. Pria paruh baya itu memandang Luna lekat-lekat, tangannya mengusap pipi putrinya. "Papa nggak suka lihat kamu seperti ini."
Luna menunjuk wajah Papa nya. "Aku juga nggak suka lihat Papa natap aku kayak gini," kata Luna, terkekeh pelan.
Tama hanya tersenyum. Lalu ia menarik tangan kecil Luna dalam genggamannya.
"Papa kesini kapan?" tanya Luna yang kini sudah merasa jauh lebih baik.
"Udah dari semalam waktu kamu tidur."
Luna hanya membulatkan mulutnya. "Lexa dimana?" tanya Luna lagi.
"Sekolah."
Tiba-tiba kening Luna berkerut, ia teringat sesuatu. "Kayaknya semalem dia bilang kepalanya sakit." Luna juga ingat kalau Lexa berjanji akan menceritakan sesuatu padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aluna & Alexa
Ficção AdolescenteCerita ini adalah tentang sepasang saudara kembar Aluna dan Alexa. Aluna dan Alexa tak pernah terpisahkan. Sebagai anak yang terlahir tanpa mengenal ibu, keduanya tumbuh dengan ikatan yang sangat kuat. Saling menyayangi dan melindungi. Namun selal...