Lio masih sangat ingat, terakhir kali dia berjalan mengendap-endap adalah saat dia dan kawan satu kompleknya hendak mencuri mangga Pak RT. Tidak percaya bahwa kali ini Lio melakukannya lagi. Bedanya, dia tidak sedang hendak mencuri mangga, tapi mengikuti Luna.
Tapi anehnya, rasanya sama saja.
Lio berdiri di balik pilar besar di depan kantor guru, melongokkan kepalanya, memata-matai Luna yang berada di lobby sekolah.
Apa yang Lio lihat sekarang sungguh menarik, sangat menarik.
Luna dan laki-laki itu, pacar barunya, atau, entahlah. Ingin rasanya mendengarkan apa yang mereka bicarakan, Lio benar-benar dibuat penasaran.
Hey, sejak kapan Lio jadi kepo seperti ini?
***
Di lobby, Jevin duduk menyilang kakinya. Dia hanya mengenakan kaos hijau tua, celana ripped jeans, dan vans hitam. Penampilan itu mengingatkan Luna pada sosok Jevin saat pertama kali mereka bertemu. Terlihat urakan, tidak serapi saat dia memakai seragam voluntir.
Dalam hati sebenarnya Luna masih penasaran, bagaimana bisa laki-laki ini ada di sekolahnya?
Jevin menurunkan ponselnya lalu mendongak begitu seseorang yang ia tunggu datang.
Kebetulan yang menyenangkan itu membuat bibir Jevin mau tak mau merekah lebar.
"Gue baru aja kesini, pas gue mau telpon lo, lo malah telpon duluan. Kebetulan banget ya."
Luna mendengus pelan.
Saat ekor matanya menangkap bayangan Lio, dia mencengkeram tali ranselnya.
Bocah itu nggak tahu cara bersembunyi atau bagaimana sih, gerutu Luna dalam hati.
"Ayo pulang," kata Luna, membuat kedua alis Jevin terangkat. Lio yang masih berpegangan pada pilar juga berekspresi sama.
"Gue nggak salah dengar?" Jevin berdiri memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
"Pendengaran lo bermasalah?"
Jevin tertawa pelan sambil menatap Luna penuh selidik. Anak perempuan di depannya ini tidak mungkin bertingkah seperti ini tanpa alasan. Meski begitu, Jevin tetap tidak bisa menemukan jawabannya.
"Nggak kok," katanya.
Luna langsung menepis tangan Jevin yang hendak merangkulnya.
"Gimana kalau kita ke--"
"Nggak. Gue mau langsung pulang," sela Luna, datar namun tegas.
"Oke." Jevin terkekeh lagi. "Ayo." Jevin berjalan lebih dulu, meninggalkan Luna di tempatnya berdiri. Luna meremas tali ranselya, di dahinya sudah muncul titik-titik keringat. Dari luar mungkin Luna terlihat santai, tapi nyatanya dia cemas luar biasa. Dia tidak menyangka akan melakukan hal ini, benar-benar nekat.
Sebenarnya Luna tidak ingin diantar pulang oleh Jevin, dia sudah berencana akan kabur setelah Lio hilang dari sana.
Masalahnya adalah Lio tidak kunjung pergi.
Luna melirik ke arah Lio sekali lagi. Menghela napas lalu dengan berat ia pun melangkah mengikuti Jevin.
***
Begitu Lio melihat Luna melangkah pergi, ponsel di saku Lio bergetar. Lexa menelepon. Tanpa berpikir, Lio mengangkatnya.
"Halo?"
"Lo bisa ke lapangan indoor sebentar nggak?"
Lio terlihat bimbang. "Ada apa, Lex?"
"Nggak ada apa-apa, sih. Sebentar doang, gue pengen ngomong sesuatu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aluna & Alexa
Teen FictionCerita ini adalah tentang sepasang saudara kembar Aluna dan Alexa. Aluna dan Alexa tak pernah terpisahkan. Sebagai anak yang terlahir tanpa mengenal ibu, keduanya tumbuh dengan ikatan yang sangat kuat. Saling menyayangi dan melindungi. Namun selal...