Pantulan bola karet, decit sol sepatu, dan suara papan ring yang terbentur terdengar memenuhi lapangan basket indoor SMA Gilliard. Suara itu menggema selama hampir setengah jam tanpa henti.
Lima menit kemudian, Lexa tidak lagi mengejar si oranye yang memantul jauh. Ia menjatuhkan dirinya di lantai, meluruskan kedua kakinya, duduk menahan tubuhnya dengan kedua tangannya di belakang, mempersilakan oksigen memasuki paru-parunya sambil pikirannya melantur entah kemana.
Hingga tiba-tiba dari arah pintu dua orang berteriak memanggil namanya. Lexa nyaris mengumpat kencang gara-gara Dira dan Giga dengan sengaja mengagetkannya.
"Assalamualaikum kek atau apa, kaget gue!"
Dira meletakkan tasnya sambil tergelak melihat Lexa yang tidak bercanda kagetnya.
"Assalamualaikum," ucap Giga ditengah usaha menahan tawa.
"Gue kira yang lain udah kesini, udah buru-buru gue," keluh Dira.
"Belum bel pulang Dira, 'kan kita barusan ulangan." Giga menyahut.
"Ngapain Ga lo kesini? Mau ikut latihan basket?" tanya Lexa. Gadis itu beranjak untuk mengambil bola.
"Lo ngatain gue apa gimana, udah tau gue payah main basket masih aja nanya."
Lexa terkekeh. "Gue cuma nanya Ga, kalo lo tersinggung ya bukan salah gue. Salah siapa lo nggak pernah olahraga, kerjaan lo pacaran mulu sama kamera."
"Lebih mending gue hobi fotografi, ngepas gender. Nah elo basket, tampilan lo nggak ada cewek cewek nya lagi, tinggal ganti kelamin aja lo jadi laki," ujar Giga sebelum ia berlari tunggang langgang karena Lexa berlari mengejarnya.
"Bangke!"
Giga tertawa terbahak-bahak berlari hampir memutari satu ruangan penuh, hingga akhirnya ia memilih menyerah sebelum ia kehabisan napas.
"Udah Lex, udah. Ampun gue udah mau pingsan! Adoh!"
Giga meringis kencang. Sebelah tangannya yang tidak memegangi kamera mengusap pantatnya. Lexa melemparnya dengan bola.
Setelah itu Giga menjatuhkan dirinya di lantai, berbaring telentang sambil mengatur napas. Lexa ikut duduk di dekat Giga, gadis itu sama sekali tidak terlihat kepayahan.
"Payah kan lo, lari segitu doang nggak kuat, laki lo?"
"Bodo ah," kesal Giga enggan berdebat dengan Lexa, laki-laki manis berkumis tipis itu benar-benar kelelahan.
Giga mengangkat sedikit kepalanya, melihat sekitar, tidak menemukan Dira dimanapun. "Eh, Dira mana ya?"
"Lagi ganti baju," jawab Lexa sekenanya sambil memutar bola di ujung jari telunjuknya. "Lo ngapain sih kesini. Eh beneran gue nanya serius nih."
Giga bangkit duduk bersila. "Mau nemenin sahabat tercinta gue latihan basket." Giga menggerak-gerakkan alis tebalnya, menggoda.
Lexa berdecak. "Najis." Giga tertawa.
"Gue gabut males pulang di rumah nggak ada orang paling nyokap lagi arisan bokap belum balik." kata Giga dalam satu tarikan napas.
"Rasain lo, suruh siapa jadi anak tunggal."
Giga menatap Lexa dengan tatapan nelangsa. "Gue pengen punya kakak sumpah. Gue minta nyokap buat ngelahirin gue seorang kakak, malah ngira gue gila."
"Pe'a!" Lexa tertawa. "Lo beneran bilang minta kakak sama nyokap lo?"
"Iya." Giga ikut tertawa akibat tawa Lexa yang menular.
Setelah tawa keduanya reda, Lexa bertanya, "By the way, lo sama Dira gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aluna & Alexa
Novela JuvenilCerita ini adalah tentang sepasang saudara kembar Aluna dan Alexa. Aluna dan Alexa tak pernah terpisahkan. Sebagai anak yang terlahir tanpa mengenal ibu, keduanya tumbuh dengan ikatan yang sangat kuat. Saling menyayangi dan melindungi. Namun selal...