Selamat membaca! :)
***
Dulu sekitar empat tahun yang lalu, Jevin sangat akrab dengan benda kecil ini. Semakin dewasa Jevin tersadar benda ini tidak baik bagi kesehatanya. Maka sedikit demi sedikit ia menguranginya dan hanya akan menghisapnya saat ia merasa tidak ada lagi yang bisa menenangkan pikirannya.
Persetan dengan gelar calon dokter yang ia sandang sekarang. Ia sama sekali tidak perduli dengan tanggapan orang lain.
Seperti saat ini, di halaman rumah sakit. Jevin sedang merasa tidak ada siapapun yang bisa menenangkan pikirannya selain benda kecil ini.
Harapannya, asap putih yang terbang di atas kepalanya juga membawa pergi sesak yang ada di dadanya. Omong kosong memang, dia juga menertawakan dirinya sendiri, tapi apa salahnya berharap, pikirnya.
Selain itu Jevin juga sedang dalam suasana hati "mati sekarang pun tidak masalah", jadi tidak ada yang bisa menghentikannya, sekalipun dirinya sendiri.
Jevin menyandarkan punggungnya di dinding. Tidak ada bintang, mendung, dan angin malam berembus kencang, membelai lengannya yang terbuka karena ia menggulung tinggi kemejanya. Jevin mengembuskan napasnya lagi, mendorong asap putih bergumul dua kali lebih pekat ke udara.
Bersamaan dengan itu, seseorang menghampiri Jevin.
Hanya melirik dan Jevin tahu siapa orang itu.
Wanita itu mengernyit sedikit karena terpapar asap Jevin.
"Papa kamu enggak akan senang melihat kamu merokok."
Jevin menghisap jauh lebih dalam rokoknya hingga batang nikotin itu memendek dengan cepat. Ia menjatuhkannya lalu menginjakknya. Setelah itu baru menghadapkan tubuhnya ke orang tersebut.
Ia membungkuk sedikit. "Selamat malam Dokter Irene, malam ini saya tidak ada shift, saya hanya menjenguk teman. Tapi mohon maaf, sepertinya sekarang saya harus menghampiri teman saya, permisi."
Jevin membalikkan tubuhnya dan berjalan meninggalkan Irene begitu saja.
"Jevin, tolong sekali ini saja. Saya mohon."
Irene mengepalkan tangannya, menguatkan diri. Tadi sebelum Erik pulang, Irene sudah berjanji pada Erik untuk setidaknya mengajak Jevin pulang bersamanya.
Jevin menghentikan langkahnya, tidak menoleh maupun membalikkan tubuhnya. Hanya berdiri disana, menunggu.
Irene berdeham pelan. "Kamu sudah makan belum? Ayo kita ke Red Rich, tempat makan favorit kamu, saya traktir. Dan lagi pula saya pengen ngobrol banyak sama kamu. Kamu mau kan, Jevin?" Irene berusaha tidak menurunkan senyumnya saat berbicara.
Namun nampaknya Jevin sedikit pun tidak tertarik. "Saya enggak lapar, dan maaf, akan sangat canggung jika seorang dokter seperti anda makan berdua dengan saya volunteer rumah sa--"
"Hentikan Jevin!" Suara Irene meninggi, namun ia menyesalinya sedetik kemudian. "Bisakah sekali saja? Saya enggak pernah minta kamu untuk memanggil saya Mama atau menganggap saya ibu kamu, kok."
Mendengarnya, rahang Jevin menegang kuat. Cukup, tidak masalah itu lagi, batin Jevin.
"Saya cuma ingin kamu melihat saya sebagai istri papa kamu, Jevin. Tolong hargai saya, sedikit saja." Suara Irene lirih di akhir, terdengar frustrasi.
"Hargai?" Jevin memutar badannya sedikit dan menoleh. Sebelah alisnya terangkat. "Kamu mau saya menghargai kamu berapa?" ujar Jevin enteng. Kali ini tak tampak rasa segan sedikit pun di wajah Jevin. Sudah tidak ada lagi topeng yang ia kenakan sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aluna & Alexa
Teen FictionCerita ini adalah tentang sepasang saudara kembar Aluna dan Alexa. Aluna dan Alexa tak pernah terpisahkan. Sebagai anak yang terlahir tanpa mengenal ibu, keduanya tumbuh dengan ikatan yang sangat kuat. Saling menyayangi dan melindungi. Namun selal...