"Loh katanya mau dianter sama abang ojol."
Luna menaikkan kedua alisnya saat Lexa melangkah masuk ruangannya. Gadis itu menenteng sebuah ransel biru sampai bahu kirinya miring.
Dia meletakkan ransel tersebut di meja seraya membuang napas dengan cara berlebihan seakan baru saja memikul bak air yang sangat berat.
Gadis berseragam putih abu berjaket hitam itu menunjuk Lio yang berdiri di sebelahnya. "Nih, abang ojolnya," lalu terkekeh pelan.
"Hai Lun," Lio tidak melirik Luna saat mengucapkannya bahkan sampai ia duduk di sofa dan sibuk dengan ponselnya.
"Hai," Luna membalas singkat sapaan Lio. Luna memandang Lio dengan kening berkerut samar. Ada yang salah dengan anak laki-laki itu, pikir Luna.
Luna tidak tahu saja jika sebenarnya Lio sedang jaga image karena ia berada di ruangan yang sama dengan Jevin.
Jevin sendiri tampak tidak menghiraukan keberadaan Lio. Laki-laki itu sibuk memasukkan obat-obat Luna ke dalam kontainer kecil.
Lexa berjalan mendekati Luna yang duduk bersandar di ranjangnya. Ia mengangkat tangannya lalu melingkarkan di leher Luna seperti ular melilit mangsanya. Tidak, Lexa sama sekali tidak menyakiti Luna.
"How's your feeling today, my dear?"
"Very good," sahut Luna cepat.
Lexa terkekeh. "Papa dimana?"
"Tadi keluar sama dokter Irene."
Lexa hanya membulatkan mulutnya sambil mengangguk-angguk kecil. Mendengar nama wanita itu disebut, tiba-tiba ia ingat dengan ucapan papanya beberapa waktu yang lalu. "Jevin itu anak tirinya Tante Irene..."
Lexa melirik Jevin yang sedang mengulurkan segelas air mineral dan kontainer obat kepada Luna. Saat mata keduanya bertemu, hawa dingin merambat dari ujung kaki ke ujung kepala Lexa. Gadis itu melepaskan Luna dan merasa kikuk seketika.
"Sana minum obat dulu," ujar Lexa sambil lalu dan berjalan ke arah jendela.
Sekarang Luna dibuat bingung dengan Lexa yang tiba-tiba bersikap aneh.
Lamunan Luna buyar saat suara Jevin merambat gendang telinganya.
Luna menerima gelas air dan obatnya dari Jevin seraya berterimakasih.
"Habis ini gue ada tanding sama Wijaya."
Luna melirik Lexa, baru menjawab saat semua obatnya kandas dari dalam kontainer kecil. "Terus?"
Lexa membalikkan badannya kesal. "Gilliard Internasional VS Wijaya itu pertandingan sengit sepanjang masa, lo cuma bilang 'terus?'"
Luna terkekeh pelan. "Ya gimana?
Lexa melipat tangannya di dada dan kembali menghadap jendela besar, lalu menghela napas berat. Nanti adalah pertandingan perdana dimana dia harus mengikuti keinginan Dena untuk membuat timnya sendiri kalah dari pertandingan.
Melihat Lexa terdiam, Luna berkata, "Iya gue tau kok, nanti juga pasti Giga temen lo live streaming kayak biasanya kan. Gue pasti nonton tenang aja."
Lexa membalikkan badannya cepat. "Jangan!"
"Jangan?"
"Ma-maksudnya," Lexa tergagap. "Kan nanti pertandingan dimulai jam 3, dan jam 3 itu waktunya lo buat istirahat, iya kan?"
Luna terkekeh pelan, "Loh kenapa sih? Cuma liat di hape doang dan nggak pergi kemana-mana. Nggak akan ganggu waktu istirahat gue juga."
Lexa menggelengkan kepalanya cepat. "Enggak-enggak, lo tetep harus istirahat."

KAMU SEDANG MEMBACA
Aluna & Alexa
Teen FictionCerita ini adalah tentang sepasang saudara kembar Aluna dan Alexa. Aluna dan Alexa tak pernah terpisahkan. Sebagai anak yang terlahir tanpa mengenal ibu, keduanya tumbuh dengan ikatan yang sangat kuat. Saling menyayangi dan melindungi. Namun selal...