SIANG hari ini begitu terik. Matahari dengan gagahnya menyinari tanpa ada satupun awan yang menghalangi. Ketika semua orang berbondong-bondong menghindari panas matahari seperti menghindari hujan, Lexa dan Lio malah asyik memainkan si oranye di lapangan sekolah. Seolah-olah teriknya matahari adalah energi yang mereka butuhkan.
Lexa yang mengganti roknya dengan celana olahraga itu menarik topi jaket abu-abunya setelah berhasil mencetak three point, lalu menari-nari merayakan kemenangannya melawan Lio.
"Ah!" Lio jatuh terduduk dan mengerang frustrasi. Sampai kapan dia harus dikalahkan seperti ini. Masa iya seorang Lio yang kemampuannya selalu dipuja-puja itu harus kalah melawan perempuan.
"Kok kalah sih? Katanya jago?"
Lio mendengus, dia tidak mungkin mengatakan dia hanya mengalah karena melawan perempuan, alasan itu pernah ia gunakan dulu jadi Lexa tidak akan percaya.
"Pizza nya jangan lupa lho, pak," goda Lexa sebelum menenggak air mineral di pinggir lapangan.
Lio berdecak lalu berdiri dan kembali memainkan bola. "Iye."
Lexa tertawa melihat Lio yang tampak tak ikhlas. "Yang ikhlas pak, biar jadi pahala."
Lio semakin cemberut. Bukannya dia pelit atau tak rela menyisihkan uangnya untuk pacarnya sendiri. Tapi bukan harga Pizza yang jadi masalahnya, melainkan akumulasi dari harga Pizza dalam seminggu. Tidak, itu tidak sepadan dengan dirinya yang hanya kalah 2 poin. Not fair!
Lexa memandang Lio yang sedang asik di tengah lapangan. Langkah panjangnya, gerakannya memantulkan bola, melempar bola, caranya berlari, caranya lay-up, dan melompat adalah favorit Lexa. Bagi Lexa, Lio tidak sedang bermain basket tapi menari, menari dengan caranya sendiri.
Melihat wajah cemberut itu Lexa kembali terkikik. Ditraktir Pizza selama seminggu siapa yang tidak mau. Meskipun tidak menolak, Lexa tidak akan setega itu memaksa Lio membayar Pizza nya nanti. Hanya ingin mengerjai Lio saja.
"Sekarang tanggal berapa sih?" tanya Lexa tiba-tiba.
Lio sedang membidik bolanya ke ring, saat Lexa bertanya. Lio hanya melirik Lexa sekilas lalu melempar bolanya.
Masuk. Lio tersenyum puas.
"Tanggal 2," jawabnya akhirnya, lalu berjalan menghampiri Lexa.
"Bulan?"
Lio menggedikkan bahunya sekilas. "Februari, kan," Kini Lio duduk bersila dihadapan Lexa.
"Tahun?" tanya Lexa menyodorkan botol minum pada Lio.
"Berasa anak Tk gue belajar hari tanggal," cibir Lio lalu meminum air dari Lexa.
Lio menenggak minumannya. Melihat tenggorokannya naik turun, Lexa terkekeh.
Selesai minum, kini Lio yang terdiam. Mereka beradu pandang cukup lama. Lexa memicingkan matanya dan Lio mengangkat sebelah alisnya. Berkompetisi dalam diam, siapa yang lebih dulu melepas tatapan itu maka dia yang kalah. Namun memang tidak ada yang kalah karena pada akhirnya mereka tertawa geli tanpa ada sesuatu yang lucu.
"Udah tiga tahun aja," ucap Lio akhirnya.
Lexa menyipitkan matanya, "Apanya?" Hanya menggoda, Lexa tahu kok maksud Lio.
"Usia pernikahan kita," celetuk Lio sambil nyengir, lalu cemberut. "Tapi sampai sekarang belum dikaruniai momongan." ucapnya sedih.
Tangan kanan Lexa terbang ke pelipis Lio, Lio meringis, Lexa tertawa.
Lexa mengulurkan tangannya hingga ujung jemarinya menyentuh bekas kejahatannya tadi, lalu mengusapnya pelan, "Maaf," ucapnya tulus.
Hanya sentuhan kecil tapi berhasil membuat ritme detak jantung Lio meningkat, sensasi favorit Lio yang sumbernya hanya dari Lexa.
![](https://img.wattpad.com/cover/57458591-288-k978690.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aluna & Alexa
Teen FictionCerita ini adalah tentang sepasang saudara kembar Aluna dan Alexa. Aluna dan Alexa tak pernah terpisahkan. Sebagai anak yang terlahir tanpa mengenal ibu, keduanya tumbuh dengan ikatan yang sangat kuat. Saling menyayangi dan melindungi. Namun selal...