Begitu membuka pintu, Luna mendapati Lio tersenyum lebar sambil melambaikan tangan padanya. Dan Luna langsung menutup pintunya.
Bisa Luna dengar, Lio mengumpat di luar sana.
"Lun! Kerjain tugas biologi yok!!!"
Luna menghentikan langkah kura-kuranya.
"Gue mau tidur!"
"Tidur sore-sore gini, yang bener aja."
Luna mendengus, dan tetap melanjutkan perjalanannnya menuju surga (re: kasur).
"Tugasnya dikumpulin besok? Lo mau dapet hukuman?" Di luar pintu, Lio melipat tangannya. "Dan lo nggak bisa ngerjain itu sendiri karena ini adalah tugas kelompok. Lo mau nama baik lo tercoreng hanya karena lo nggak ngerj--"
Pintu terbuka, menampakkan Luna dan buku besar biologi di tangannya. Lio tersenyum senang.
"Nah gitu dong, yuk, yuk!"
***
Lexa berbaring di sofa ruang tengah, sibuk menelepon seseorang, mungkin papa. Sedangkan Luna dan Lio duduk lantai di ruang tamu, sibuk dengan buku-buku yang berserakan di meja.
"Gue nggak ngerti yang ini. Lo yang ngerjain ya."
Itu adalah kalimat yang Lio ucapkan untuk yang kesekian kalinya.
Luna mendengus, dan mengangkat kepalanya dari meja.
"Kalau gue semua yang kerjain, namanya bukan tugas kelompok," keluhnya.
"Ya ini gue lagi ngerjain."
"Mana, coba liat."
Lio menggaruk alisnya sambil nyengir. "Ya... Seenggaknya juga gue lagi nyari mana yang sekiranya bisa gue kerjain."
"Hhh." Memutar bola matanya, Luna kembali meletakkan kepalanya ke meja.
Beberapa saat kemudian henin, hingga Lio kembali bersuara.
"Lo pakai kontak lens ya?"
Luna hanya mengangguk.
Lio mencomot kue kering dari dalam toples, lalu kembali menatap Luna, menyangga kepalanya dengan tangan.
"Risih nggak sih?"
Rasanya kayak, mata lo ada kotorannya, tapi kotorannya besar. Jelas risih lah, gue juga nggak bakal pakai kalau kacamata gue nggak hancur.
Tapi Luna enggan mengucapkannya jadi dia hanya menggeleng.
"Lo keliatan lebih cantik kalau nggak pakai kacamata," ucap Lio sebelum memasukkan kue kering ke dalam mulutnya, membuat pulpen di tangan Luna menggantung di udara.
Memilih tidak menanggapinya, Luna mengangkat kepalanya dari meja lalu kembali menulis.
"Kalau pakai kacamata, orang-orang jadi jarang yang tau kalau lo itu kembarannya Lexa. Coba kalau lo ke sekolah kayak gini. Lo pasti bakal ditaksir banyak cowok."
Entah sadar atau tidak, ujung bibir Luna sedikit terangkat mendengarnya. Mungkin karena dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika itu terjadi, atau lucu saja tiba-tiba Lio mengatakannya, atau entahlah.
"Kenapa lo nggak nyoba cari pacar sih, Lun. Setahu gue, banyak loh yang mau deketin lo tapi pada nggak berani. Bahkan ada beberapa kakak kelas yang minta nomor hape lo ke gue. Nggak cuma kakak kelas aja sih, anak seangkatan juga ada. Tapi tenang aja, nggak gue kasih kok. "
Lio menelan kue keringnya.
"Lo tau nggak, dulu waktu pertama kita bertiga ketemu, gue nggak pernah bisa bedain lo sama Lexa." Lio terkekeh. "Dulu, lo 'kan belum pakai kacamata dan juga sama-sama suka basket kayak Lexa. Oh ngomong-ngomong soal basket, gue nggak nyangka lo semudah itu benci sama basket setelah sebelumnya bahkan lo lebih gila basket dari Lexa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aluna & Alexa
Teen FictionCerita ini adalah tentang sepasang saudara kembar Aluna dan Alexa. Aluna dan Alexa tak pernah terpisahkan. Sebagai anak yang terlahir tanpa mengenal ibu, keduanya tumbuh dengan ikatan yang sangat kuat. Saling menyayangi dan melindungi. Namun selal...