Lexa berjalan di koridor rumah sakit menuju kamar Luna. Ia baru saja mengambil ponselnya yang tertinggal di mobil. Oh, dan membeli jus jambu, Luna yang memintanya.
Tadi, saat tiba-tiba Luna pergi ke kamar mandi dan keluar setelah sepuluh menit, Luna berkata pada Lexa kalau dia ingin jus jambu dan meminta Lexa untuk pergi membelikannya. Lexa tahu, sebenarnya Luna tidak benar-benar menginginkannya, dia hanya sedang ingin sendiri. Lexa tahu tapi tidak mengatakannya. Biar saja, Lexa juga akan melakukannya kalau dia di posisi Luna.
Setibanya Lexa di kamar Luna. Lexa melihat Luna yang duduk di tempat tidurnya, sedang memperdebatkan sesuatu dengan papa yang terlihat rapi dengan setelan jasnya. Tubuh Lexa menegang seketika, dan mendadak jantungnya berdegup kencang. Oh, tidak, semoga apa yang ada di kepalanya tidak benar-benar terjadi.
Buru-buru Lexa menghampiri ayah dan adiknya itu.
"Ada apa, sih?" tanya Lexa mencoba bersikap biasa.
"Enggak, Papa cuman--"
"Pokoknya Papa nggak boleh pergi kemana-mana, titik!" ujar Luna agak berseru membuat Lexa refleks mengingatkan.
"Papa nggak akan kemana-mana. Kamu kenapa, sih?" tanya Lexa seraya meletakkan jus jambu ke atas nakas.
"Papa mau balik ke Tokyo!" seru Luna. Lexa langsung melotot kaget lalu menatap papa dari bawah ke atas.
"Sekarang?!" tanya Lexa.
"Sekarang!" jawab Luna.
Kini keduanya menatap papa dengan kesal. Ditatap seperti itu papa hanya menghela napas. Kemudian berkata dengan sabar,
"Lexa, Luna, Papa kesana cuma menghadiri rapat. Hanya itu, dan Papa akan pulang besok atau paling lama lusa."
Wajah Lexa melunak. "Oh, kirain sampai seminggu lagi."
"Urusan Papa sudah selesai disana, jadi--"
"Enggak," tiba-tiba Luna memotong. "Papa tetap nggak boleh pergi."
"Luna," papa mencoba memberi pengertian lagi, namun Luna sepertinya tetap tidak mau tahu.
"Aku bilang Papa nggak boleh pergi."
"Cuma sampai besok."
"Enggak."
"Yaudah sih, Lun, sampai besok doang," sahut Lexa. Dia pikir Luna terlalu berlebihan.
"Apa bedanya?!"
"Papa cuma pergi sebentar, Lun. What's wrong with you?" Nada kesal sedikit terdengar dari kalimat Lexa.
Luna terdiam. Jujur saja Luna sendiri tidak tahu kenapa dia melarang papa pergi.
"Pokoknya Papa nggak boleh kemana-mana," ujar Luna. Kali ini terdengar lirih.
Kemudian hening sejenak. Papa sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk membujuk Luna. Jujur saja papa sangat merasa bersalah dengan Luna. Dia sedang dalam dilema hebat. Dia harus memilih antara pekerjaan atau putrinya ketika keduanya sama-sama penting.
Hingga akhirnya Lexa berkata, "Papa pergi aja, nanti ketinggalan pesawat."
Masih terlihat ragu, papa menoleh menatap sumber keraguannya itu yang terdiam memainkan kukunya. "Luna," panggil papa terdengar begitu bersalah.
"Nggak apa apa, Pa, aku sama Bi Rum bakal jagain Luna. Papa tenang aja. Nanti begitu Papa sampai, telpon kita, ya."
Kata-kata dan senyuman Lexa berhasil menerbitkan setitik kelegaan di hati papa. Setidaknya ada yang menjamin keadaan Luna akan baik-baik saja. Maka dengan itu, papa pun mendekati Luna, memeluknya sambil meminta maaf, berpamitan dengan Lexa, lalu baru ia benar-benar pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aluna & Alexa
Fiksi RemajaCerita ini adalah tentang sepasang saudara kembar Aluna dan Alexa. Aluna dan Alexa tak pernah terpisahkan. Sebagai anak yang terlahir tanpa mengenal ibu, keduanya tumbuh dengan ikatan yang sangat kuat. Saling menyayangi dan melindungi. Namun selal...