Lio menurunkan kamera ponselnya dari wajahnya. "Om Tama, geser ke kiri sedikit. Bi Rum jangan tegang-tegang mukanya," ucap Lio sambil terkekeh.
"Gini?" tanya Tama setelah menggeser posisi berdirinya.
"Nah iya sip! Siap ya, smile! Satu, dua, tiga!"
*klik*
Foto keluarga tahunan itu tertangkap hari ini. Masih sama, Tama, Luna, Lexa, dan Bi Rum. Tidak pernah berubah formasinya, hanya ruangannya saja yang kali ini berbeda, di ruang rawat Luna. Tapi tak apa, yang penting kan momennya.
"Coba Lio, om mau lihat." Tama merogoh kantong kaus polonya lalu memakai kacamatanya.
Sementara Tama, Luna, dan Bi Rum sibuk melihat hasil jepretan Lio, Lexa berjalan melewati Lio dan duduk di sofa. Sudah hampir tiga jam sejak bangun tidur sampai sekarang, dia menahan rasa sakit di tubuhnya. Lexa tidak menduga sama sekali rasa sakitnya akan berlipat ganda begitu dia bangun tidur.
Sejak bangun tidur pula, mungkin hampir tiap detik Lexa memeriksa ponselnya. Was-was dan tidak tenang kalau kalau dia melihat nama Dena muncul disana atau grup chat yang tiba-tiba meledak karena sesuatu. Namun sampai sekarang tidak ada tanda-tanda. Baguslah, dia masih bisa bernapas lega.
Lexa menghela napas dalam, lagi. Seperti sudah tidak ada lagi tenaga yang tersisa, Lexa melipat kedua tangannya di dada, menyandarkan kepalanya di sofa lalu memejamkan mata.
Sebenarnya sejak datang tadi, Lio ingin sekali mengajak Lexa berbicara empat mata. Ingin menanyakan soal kemarin dan tadi malam saat Lexa tidak bisa dihubungi sama sekali. Aneh, gadis itu juga tidak banyak bicara sejak tadi. Menyapa Lio pun hanya dengan tersenyum sambil mengusap lengannya sekilas.
Lio akhirnya mendekati Lexa dan duduk di sebelah gadis itu, lalu menyentuh pundaknya perlahan.
Lexa kaget, Lio ikut kaget.
Lio bersumpah tidak mencubit atau memukul gadis itu, tapi kenapa Lexa sampai mengernyit kesakitan hanya karena disentuh. Dahi Lio berkerut dibuatnya.
Hanya beberapa detik saja, Lexa segera menetralkan ekspresi wajahnya.
"Ah, ngagetin aja." Hanya itu yang Lexa katakan sebelum menutup matanya lagi.
"Kamu kenapa? Tangannya sakit?" tanya Lio.
"Kaget," dalih Lexa, masih memejamkan matanya.
Lio sangsi dengan jawaban Lexa. "Beneran?"
"Hm-hm" Lexa mengangguk.
"Tapi tadi kamu kayak--"
"Kemarin basket aku jatuh, posisi tangannya salah." gadis itu segera memotong ucapan Lio.
"Gara-gara jatuhin Dena?"
Lexa membuka matanya. Jantungnya tiba-tiba berdebar kencang.
"Dena?" gumam Lexa lirih.
Sungguh, dia tidak menyangka, hanya dengan mendengar nama itu, tubuhnya bereaksi seperti mendapat ancaman.
Lexa menyadarkan dirinya sendiri, dan melanjutkan, "Iya, mungkin," jawab Lexa berusaha bersikap biasa. Dia lalu menoleh dan menatap Lio penuh selidik. "Tunggu dulu, kemarin kamu bilang kamu nggak nonton pertandingan sampai akhir?"
Lio mengangkat bahunya sekilas. "Giga cerita sama aku."
Lagi, Lexa membeku, kali ini ditambah dengan sensasi merinding dari ujung kaki ke ujung kepala.
"Gi- Giga? Cerita?"
Alis Lio terangkat sebelah melihat reaksi Lexa. "Iya, pulang sekolah kemarin Giga cerita soal kamu sama Dena. Kenapa emang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aluna & Alexa
Teen FictionCerita ini adalah tentang sepasang saudara kembar Aluna dan Alexa. Aluna dan Alexa tak pernah terpisahkan. Sebagai anak yang terlahir tanpa mengenal ibu, keduanya tumbuh dengan ikatan yang sangat kuat. Saling menyayangi dan melindungi. Namun selal...