Katanya, rumah adalah tempat terakhir kita setelah bepergian jauh.
Katanya, keluarga adalah tempat kita kembali pulang untuk meletakkan segala beban kehidupan.
Katanya.
Jevin mengetatkan rahangnya. Omong kosong, batinnya sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Kepalanya terasa panas. Air yang ia basuh ke wajahnya sama sekali tidak mendinginkan kepalanya dan juga hatinya. Tetesan air mengalir membelai wajah tegasnya. Kedua telapak tangannya tertumpu di pinggiran wastafel batu, mencengkeramnya erat seakan hanya itu satu-satunya tumpuan yang ia miliki saat ini.
Kenyataannya dia punya rumah, bahkan dua kali lebih besar dari tipe rumah standar. Dia juga punya keluarga, buktinya namanya tercantum di selembar kertas kartu keluarga.
Tapi, kalau Jevin punya rumah kenapa dia merasa selalu ingin pergi dari sana?
Kalau Jevin punya keluarga kenapa setiap saat pundaknya terasa berat, hatinya selalu penuh dengan kecemasan dan kekecewaan?
Jevin mendongak, mata sayunya memandang ruang pesta. Tempat itu tampak seperti club malam dari luar sini.
Angin malam bertiup pelan namun cukup membuat siapa pun yang berada di luar kedinginan. Itu alasannya mengapa taman ini sepi. Tidak ada siapapun selain Jevin, yang terdengar hanya suara hewan malam dan sayup-sayup suara musik dari dalam, selebihnya sunyi.
Jevin memejamkan matanya sebentar, berniat menenangkan diri sebelum kembali ke ruang pesta. Namun sial, wajah pria itu melintas begitu saja. Jevin membuka matanya gusar dan berdecak.
Pria tua itu, kalau saja dia bisa memutar waktu dan memilih, dia tak sudi berbagi DNA dengan pria itu. Penghancur kebahagiaan masa kecilnya, perusak indahnya keluarga sempurna.
Jevin memasukkan kembali ponselnya ke saku celana dan berjalan menuju ruang pesta.
Seseorang yang sejak tadi berdiri berselimut kegelapan itu segera menegakkan punggungnya saat tahu Jevin berjalan pergi. Pria itu memutuskan untuk mengikuti Jevin, namun tetap dalam jarak yang cukup jauh sehingga Jevin tak menyadarinya.
Jevin disambut lampu yang berkilat-kilat terang begitu ia berdiri di pintu masuk ruang pesta. Saat ia hendak melangkah masuk tiba-tiba sesuatu menggelitik pikirannya. Satu nama muncul di kepalanya,
Luna.
Orang pertama dan satu-satunya yang pernah melihat Jevin, si kepala batu menangis seperti bayi.
Ia mengusap dagunya dengan jari, bayangan anak perempuan itu membuat Jevin mendengus geli, pelan sekali.
Mungkin sebelum benar-benar meninggalkan tempat ini Jevin harus menemui gadis itu. Bermain sebentar dengan mainan barunya itu.
Gagasan itu secara tidak masuk akal membuka tali yang terikat kencang di dadanya.
Oh ya ampun, dia jadi ingat bagaimana gadis itu memanfaatkannya untuk membuat pacar kembarannya cemburu.
Ujung bibir Jevin terangkat lagi, lucu sekali.
Kebetulan yang menyenangkan, batin Jevin. Tanpa perlu mencari, sekitar dua puluh meter jauhnya, Jevin bisa melihat figur Luna dengan jelas. Gadis bergaun merah maroon yang secara tidak sengaja senada dengan warna jasnya itu tampak berjalan menuju tempat duduknya.
Seolah menikmati apa yang dia lihat, Jevin berdiri di tempatnya sambil melipat tangannya di dada. Memandangi Luna yang tampak seperti mencari sesuatu dengan laki-laki berkemeja biru tua, siapa namanya tadi, Lio.
Lama kelamaan kening Jevin berkerut dan ia menajamkan pandangannya tatkala ia mendapati ada sesuatu yang janggal dengan Luna. Wajah gadis itu terlihat seperti menahan sakit dan ia juga terus memegangi dadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aluna & Alexa
Teen FictionCerita ini adalah tentang sepasang saudara kembar Aluna dan Alexa. Aluna dan Alexa tak pernah terpisahkan. Sebagai anak yang terlahir tanpa mengenal ibu, keduanya tumbuh dengan ikatan yang sangat kuat. Saling menyayangi dan melindungi. Namun selal...