Seperti malam biasanya. Aku terbangun. Mataku menatap lama jam di atas nakas—aku mulai tahu apa nama semua benda yang ada di sini—di sana tertera angka digital; 00.07.
Aku merapatkan selimut. Mencoba mendapatkan kehangatan lebih di malam yang terasa dingin seperti ini. Kadang aku takut terbangun di tengah malam begini. Aku ingin keluar kamar, tapi takut tidak ada siapa-siapa dan sendirian.
Biasanya, Justin akan ada di dapur atau di ruang televisi untuk menonton acara tengah malam. Tapi, sebelum aku hendak menuruni tangga, biasanya ada Niall yang sedang duduk di kursi dekat tangga. Dia akan tersenyum, mendorong kepalaku mendekat ke bibirnya. Dia akan mengucapkan pertanyaan mengenai hal-hal seperti 'apakah kamu mengingatku?', atau 'ingatkah apa tujuanmu datang kemari?' dan sejenisnya. Dan Justin tidak pernah tahu akan hal ini.
Aku menarik selimut hingga menutupi mulut dan hidungku. Aku merasakan pipiku memerah. Niall sering mencium keningku, tapi bukan berarti aku adalah perempuan yang bisa dicium sembarangan oleh orang. Aku diam saja dan menerima karena aku merasa, hal itu adalah keharusan. Meski aku tidak tahu alasan pastinya. Seperti kewajibanku untuk dikecup keningnya seperti itu.
Aku menarik selimut lagi, kini menutupi semua tubuhku. Tidak setiap hari Justin mencium keningku. Tapi aku pernah mencium bibirnya, meski hanya sebentar. Aku merasa pipiku kembali merah. Aku merasa malu. Tidak seharusnya aku melakukannya.
Aku merasa tidak waras.
Akhirnya, aku harus keluar kamar untuk menuju toilet. Jadi, aku menyibakkan selimut. Menuruni tempat tidur dan memakai sandal berbulu yang Mommy Pattie belikan untukku. Aku merasa terlalu merepotkan, mereka terlalu banyak membelikanku keperluan untukku.
Aku masih merasa tidak enak hati pada mereka, masih terus memikirkan aku yang terlalu merpeotkan, saat aku keluar kamar.
Kembali aku melihat Niall duduk di sana, di dekat tangga. Dia tersenyum. Aku balas tersenyum. Kali ini, aku akan mecoba menghidar. Kalaupun aku tertangkap, aku akan mengelak untuk dia kecup keningku.
"Aku tahu kamu akan keluar kamar." Dia memudarkan senyumnya. "Aku tahu kamu belum ingat."
Aku bingung. Untuk kesekian kalinya. Di poin yang sama, namun dalam kalimat yang berbeda. Aku menggeleng.
Niall tersenyum sedih, matanya nanar. "Aku tidak bermaksud jahat."
Kamu tidak melakukan apa-apa yang membuatku berpikir kamu jahat.
Niall tidak mendengar, aku tahu itu.
"Baiklah," Niall berkata. "Mungkin ini bisa."
Dia menarik tanganku, mendekat ke pelukannya. Awalnya dia hanya memelukku, meletakkan tanganku ke punggungnya. Dia menenggelamkan wajahnya di balik bahuku, sambil menutup mata. Aku mencoba menarik diri, memberontak. Tapi aku kecil, Niall lebih besar dari tubuhku. Aku tidak bisa keluar.
"Tolong, Al," suaranya mengecil. "Hanya sekali."
Kudengar isakannya jelas di telingaku. Dia terisak pelan.
Aku tidak punya pilihan lain, selain membalas pelukannya. Aku memeluknya erat sambil memejamkan mata. Mendadak keinginanku pergi ke toilet menguap. Rasa kasihan pada Niall perlahan timbul. Aku mengusap-usap prihatin punggungnya.
Kamu kenapa, Niall?
"Aku merindukanmu, Al."
Entah itu jawaban atau kebetulan. Tapi, bagaimana bisa Niall merindukanku sementara seharian ini kami saling tersenyum satu sama lain jika berpapasan.
"Abigail."
Seperti ada yang menikam jantungku saat Niall menyebutkan nama itu. Tanganku terkulai lemas. Menggantung begitu saja. Aku diam. Membisu. Niall ikut melepas lengannya dariku. Aku menatapnya, dia balas menatapku.
Hanya deru napas yang terdengar dalam detik-detik ini.
"Abigail, aku sangat mencintaimu."
"Tapi—"
Dengan kedua tangannya, Julius memegang pipiku dan menciumku dalam. Untuk beberapa detik, aku menerima. Tapi detik-detik selanjutnya aku menjauh.
"Aku sudah bilang, bukan kamu. Aku mencoba mengikuti kemauan ayah, tapi, bukan kamu," aku menjawab.
"Sebelum angin senja berembus dan bayang-bayang menghilang, kembalilah, kekasihku, berlakulah seperti kijang, atau seperti anak rusa di atas gunung-gunung tanaman rempah-rempah."
"Aku tak ingin mendengarkan Kidung Agung itu, Julius. Berhentilah. Kamu tidak pernah ada saat aku butuh. Tetapi dia."
"Dia? Dia yang tak layak untuk bersanding denganmu?"
Aku membuang muka. "Aku tidak butuh segala tahta, aku hanya butuh bersamanya."
Aku mengerjap. Menyentuh mulutku kaget. Aku bersuara. Meski aku sadar itu bukan benar-benar aku. Masih belum pulih dalam kekagetan, aku menatap Niall tidak percaya.
Niall.
Dia yang kutuju kemari.
...
Terhitung empat atau lima hari ya nggak update? HAHA. Maaf ya. Draft ilang, bete parah, dan sempet malas ngelanjutin. Dan ini baru bikin dua part, 21-22. Cerita yang aku bikin sama draft yang ilang beda. Tapi nggak apa-apa, tetep mangatsss.
sorry POV-nya awut-awutan karena nggak tau lah, ya begitulah.
Dan oh, rasanya lebih enak pakai gue-lo karena lebih santai.
Oke.
Sebenernya gue pengen mendedikasikan cerita ini ke readers. Tapi ya, entahlah, gue nggak kenal siapa-siapa. Mungkin gue bakal mendedikasikan kelanjutan cerita ini ke orang yang vote atau komen. Dan cerita ini untuk yaaa liat sendiri di kolom dedikasi. Gue liat-liat di komen yang part-part dulu. Ebuset ini udah setaun ternyata :3
Tau, deh, kalian semua pokoknya muahhh :*
KAMU SEDANG MEMBACA
BACKPACK
FanfictionJustin Bieber fan fiction Aliena mendongak menatapku. "You taught how to dream and how to love. Stay in my backpack. Forever." Aku mengucapkannya tanpa suara. Mungkin kalimat ini yang ada selain kalimat bahwa aku terluka olehnya. "My planet's outsi...