Aku benar-benar ingin menangis. Sungguh, ini di luar dugaanku. Suara-suara beradu di udara menjadi satu.
Suara orang bercakap dominan. Tapi dalam keadaan seperti ini, aku masih bisa mendengar deru napasku yang memburu.
Berisik. Tapi rasanya luar biasa setelah sekian hari aku seperti berada di dalam gua kawah yang curam dan sunyi.
Aku menatap Justin. Dia menyunggingkan senyum. Dalam hitungan detik, aku sudah benar-benar menangis, aku terisak.
"Can you hear it? Every single step when I'm going closer to you?" Justin bertutur sembari melangkah mendekatiku.
Aku mendengar Justin berbicara. Suara Justin sangat menenangkan, meskipun serak dan besar. Nada bicaranya sangat tenang dan sendu.
Aku mengangguk bertepatan dengan Justin yang duduk di tepi tempat yang kugunakan untuk tidur saat ini. Pelan, Justin mengusap air mataku sambil menatapku lekat. Aku ikut menatapnya lekat.
Justin mengusap pipiku. Seperti menikmati bagaimana rasa seharusnya. Aku menikmati tiap inchi sentuhannya di pipiku. Lembut.
"Kamu bisa mendengar suaraku." Justin tersenyum getir. "Lalu kapan aku mendengar suaramu?"
Aku memegang mulutku, lalu menggeleng.
"It's okay."
Bersamaan dengan kalimat yang meluncur dari mulutnya, tangannya ikut andil menarikku dalam dekapannya. Telingaku berada di dadanya.
Detakan jantungnya memenuhi gendang telingaku. Membuat detakan jantungku malah memburu.
Perasaan aneh membuncah. Dan makin membuat semua terasa luar biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
BACKPACK
FanfictionJustin Bieber fan fiction Aliena mendongak menatapku. "You taught how to dream and how to love. Stay in my backpack. Forever." Aku mengucapkannya tanpa suara. Mungkin kalimat ini yang ada selain kalimat bahwa aku terluka olehnya. "My planet's outsi...