Aku berlari menuruni tangga. Jantungku berdebar-debar. Ketika tidak kudapati siapa-siapa di ruang tamu, di dapur maupun di ruang keluarga, aku memutuskan untuk melihat di taman.
Sungguh, senyumku tidak bisa terhindarkan. Pagi ini, aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan senyumanan. Ada hal kecil yang membuatku sedikit melupakan sejenak semua ingatan yang perlahan terungkap.
Aku berjalan riang menuju taman belakang rumah. Langkahku terhenti sejenak. Di sana, aku melihat punggung seseorang yang tegap. Sedang duduk di rerumputan. Duduk termenung, merasakan hembusan angin yang bertiup tidak terlalu kencang. Bisa dilihat, angin yang membawa anak-anak rambutnya berterbangan.
Aku berjalan lambat ke arahnya. Mungkin ragu, mungkin tidak. Tapi, perasaanku lebih menuju ke ragu untuk menepuk pundaknya. Di belakangnya, aku bisa mendengar jelas hembusan napas panjang berkali-kali keluar melalui mulut Niall.
Tanpa bantuan alat pendengar.
"X5iyR."
Niall menegakkan tubuhnya. Harapan yang baru seakan memuncak memenuhi dada Niall. Aku bisa melihatnya dari kilauan matanya yang diterpa sinar matahari saat ia membelokkan tubuhnya, melihat ke arahku.
Dia tersenyum bahagia. Aku ikut tersenyum. Bahkan rasanya aku ingin menangis.
Niall berdiri dari duduknya. Dia memelukku dengan lembut dan sayang. Aku balas memeluknya.
Ini rasanya seperti, kami baru saja bertemu. Aku tidak pernah menyadari keberadaannya di sini, aku hanya melihat dia sebagai dia yang lain. Bukan Niall yang nyatanya adalah X5iyR dan aku X7ijR yang terkait bersama oleh garis bintang.
Sekarang, aku mengenalnya. Bahkan mengenalnya lebih dari aku mengenalnya sebelumnya. Pelukannya masih sama seperti dulu, saat dirinya mengetahui segala privasi dalam diriku. Memelukku dan menerima setiap kesalahan yang bahkan aku sendiri tidak dapat menerimanya.
"It's you," bisik Niall tepat di telingaku.
Aku menenggelamkan wajahku di bahu Niall. "Aku hampir tidak mengenalimu, mate."
"Kali pertama aku melihatmu, aku ingat itu dirimu. Matamu yang mengingatkanku. Setidaknya aku tidak menyerah menemukamu saat dirimu tersesat."
Seperti ada detakan sesaat, saat Niall mengucapkan kalimat ini barusan. Semua yang menjadi kebahagiaan untuk sesaat di hari ini tiba-tiba terhapus. Aku bilang aku tidak akan menyerah untuk menemukannya. Tapi, belum aku berusaha, aku sudah terhilang.
Aku merasa bersalah. Sangat merasa bersalah atas apa yang kulakukan pada Niall. Dan yang kulakukan pada diriku sendiri. Semua yang menjadi penyebab aku kesulitan tidur melintas jelas di pikiranku.
Kilasan diriku dengan Niall yang kembali muncul. Kilasan saat aku menanti datangnya waktu itu. Datangnya waktu untuk menemukan takdirku. Dua puluh satu tahun yang kulalui dengan keterpurukan untuk menunggu. Dan tiba-tiba semuanya sia-sia karena aku tersesat sangat jauh.
Perasaanku sudah terlalu dalam untuk Justin.
"I'm sorry ... I'm so sorry, mate." Aku terisak, masih dalam pelukan Niall.
Niall mengusap rambutku lembut. "Don't have to."
Aku terisak makin kencang saat Niall mengecup rambutku sayang. Aku terus mengucapkan maaf di telinga Niall. Dan Niall terus mengucapkan tidak perlu meminta maaf. Aku tidak yakin Niall tahu apa yang membuatku terus menerus meminta maaf.
Akhirnya aku melepaskan pelukanku dari Niall saat isakanku terhenti. Tangan Niall yang besar dan hangat mengusap pipiku, mengusap air mata yang membanjiri wajahku. Dia menatapku dalam dengan senyum miris.
"You love Justin, don't you? Aku ingat kamu menangis, saat kamu mulai tahu apa tujuanmu kemari."
Dari dulu, setiap hal kecil dari diriku yang melukainya selalu bisa ia terima dengan lapang dada. Seperti saat ini, aku pikir dia tidak tahu apa yang membuatku meminta maaf. Faktanya, Niall tahu itu. Dan dia mengucapkan seolah itu adalah hal yang kecil. Hal yang bukan masalah besar untuknya.
Dia selalu punya nada suara yang halus untuk tidak membuatku merasa makin bersalah. Tapi, aku malah makin bersalah karena Niall bilang dia baik-baik saja. Aku tahu dia tidak baik-baik saja. Dia juga menunggu, sama seperti aku juga menunggunya.
Dan ketika kami bertemu, aku malah menghancurkan semuanya.
"Sudah terlalu jauh aku tersesat, Niall," aku berkata sambil menahan tangisku agar tidak kembali pecah.
Niall mengelus bahuku menenangkan.
Aku menunduk. Malu pada diriku sendiri sekaligus merasa sangat bersalah pada Niall. "Aku sudah terlalu jauh jatuh ke dalam Justin."
"Kamu sendiri yang tahu, mana yang terbaik untuk dirimu dan mana yang bukan."
Niall menepuk kepalaku pelan, tersenyum, lalu meninggalkanku mematung dengan segala keputusan yang belum terpikirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BACKPACK
FanfictionJustin Bieber fan fiction Aliena mendongak menatapku. "You taught how to dream and how to love. Stay in my backpack. Forever." Aku mengucapkannya tanpa suara. Mungkin kalimat ini yang ada selain kalimat bahwa aku terluka olehnya. "My planet's outsi...