enam-justin

307 37 2
                                    

Sudah lima belas menit aku duduk di kursi kayu yang kugeret dari meja rias di kamar gadis ini. Aku duduk dan bergeming, menatap penuh belas kasihan pada gadis di hadapanku.

Gadis di hadapanku tidak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Ia terisak begitu rupa tanpa suara. Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Rasanya tidak nyaman dan mengganggu. Seperti ... remuk? Entahlah. Hanya saja hampa sekali saat melihat Aliena menangis.

Aliena ... bahkan nama itu hanya aku yang tahu.

Aku menghela napas panjang, tapi tetap bergeming. Tidak melakukan apa-apa selain menatap Aliena yang sedang menangis.

Aku mengerti mengapa dia seperti ini. Dia kehilangan suara dan pendengarannya. Niall benar. Aku jadi merasa bersalah. Aku yang menabraknya, menyebabkan dia pingsan selama tiga hari dan berujung seperti ini. Ini mengerikan.

Tanganku menggeret kursi mendekat pada tepi ranjang, tempat dimana Aliena duduk sambil menangis. Ragu-ragu, aku memegang bahunya, lalu meremas pelan. Dan saat itu dia menghentikan tangisannya. Aku merasa sedikit lega.

Mata Aliena menatap dalam mataku. Pancaran matanya redup, berbeda dengan tatapan berekspresi yang biasa kulihat. Warna violet itu, dan air mata yang masih menggenang. Aku terenyuh.

"Maafkan aku."

Aku bergumam pelan, sangat pelan. Entah apa yang kulakukan. Padahal seharusnya aku tahu Aliena tidak dapat mendengar saat ini.

Aliena mengerjapkan matanya, membuat beberapa tetes air mata tumpah. Seakan terhipnotis, tanganku terulur menyentuh pipinya. Menyeka air mata yang masih meleleh sedikit demi sedikit di sana. Saat tanganku menyusuri pipi Aliena dengan pelan, matanya tertutup, seolah merasakn sentuhan tanganku.

Nafasku tertahan saat tangan Aliena menyentuh tanganku. Beribu-ribu volt listrik statis menyerangku. Aku sedikit gemetar karena sentuhannya. Tapi kemudian, aku merasa tenang saat Aliena kembali membuka matanya dan menatapku. Tangannya masih berada di atas tanganku.

Satu tetesan air mata kembali turun. Ada setan yang memasukiku, aku ikut melelehkan air mata melihat Aliena.

Aku tidak dapat menjelaskan, tapi kami sama-sama menangis. Bagiku ini bukan alasan yang pasti karena aku merasa kasihan. Jadi, aku memilih memeluk Aliena. Mendaratkan kepalanya pada lekukan leherku untuk meredam tangis kami.

Ini membingungkan.

Terlebih saat aku mendengar suara Niall. Dia di ambang pintu. Menatap dengan tatapan datar. Detik berikutnya dia tersenyum, sejenis senyuman yang tidak memiliki arti.

"Apa aku benar kalau dia ... " Niall tidak melanjutkan kalimatnya.

Aku menghentikan tangis, bergeming di tempat, dan aku masih memeluk tubuh mungil Aliena.

------------------

mau bilang makasih banget yang mau nyemepetin baca. Meski gue tau ini aneh. Gue pengen punya banyak readers, tapi semua butuh proses kan? Dan makasi bangeeet buat @rizkadev yang mau komen terus. Du bist toll!

Ngomong-ngomong, kayanya pernah tau siapa @rizkadev. Entah, mungkin gue aja yang ... gitulah. Kita belum kenal, tapi gue mau dedikasihin buat elo *smile from ear to ear*

Di mulmed ada entin yang kecehhh :*

BACKPACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang