dua puluh empat-justin

102 21 2
                                    

Seharian ini, yang kulakukan hanya duduk di bar dapur. Meminum semua minuman yang bisa kubuat dan tersedia di dalam kulkas. Setelah membasuh diri, mencoba menenangkan pikiran yang nyatanya tidak berkerja sama sekali, aku duduk termenung.

Mataku hanya menatap kosong pekarangan belakang rumah yang dapat dilihat dari kaca transparan sebagai penyekat. Pikiranku kemana-mana.

Sadar dari ketermenunganku, aku mengacak rambut bingung, lalu mulai memikirkan banyak hal hingga aku melamun. Masih termenung dalam pikiran antah berantah yang tidak ada ujungnya.

Aku hanya tidak mengerti apa yang terjadi padaku. Semua begitu saja terlintas. Aku bahkan tidak mengenal siapa Abigail, siapa Jason dan siapa Julius. Tidak pernah sedikitpun aku bermimpi seperti mimpi-mimpiku sekarang ini selama Aliena hadir dalam kehidupanku. Tidak pernah aku merasa dekat dengan tokoh fiksi di mimpiku.

Begitu dekat. Aku menarik napas dalam, lalu membuangnya perlahan. Aku bisa mengingat aroma tubuh Abigail yang sama dengan aroma tubuh Aliena. Aku mengenal Abigail sama seperti aku mengenal Aliena. Aku hapal tiap gerak-gerik, dan senyum manis yang selalu bertengger di bibir Abigail, sama seperti senyum milik Aliena. Terlebih mata mereka. Mata violet berbinar dengan sejuta ekspresi kagum pada hal-hal baru.

"Justin Drew Bieber, Justin dan Niall," aku meracau tanpa sadar. "Justin ... Niall, Justin ... Aliena."

Aku membuang muka ke pintu dapur tanpa pintu yang langsung lurus terpandang ruang makan. Aku menyadari aku begitu terlihat menyedihkan. Aku menarik rambutku.

"Aliena dan Niall, eh?"

Aku gemetar. Terlalu gemetar berpikir bahwa semua ini sangat nyata. Sampai-sampai aku tidak bisa memegang gelas dengan benar. Aku tidak bisa meminum dengan benar. Kerongkonganku tidak bisa digunakan untuk menelan.

Aku hendak meletakkan gelas ke atas meja. Namun, aku sama sekali tidak fokus. Gelas yang masih berisi air jatuh pecah ke lantai yang dingin. Aku tertegun beberapa saat. Lalu, aku tidak peduli lagi dengan nasib gelas tersebut.

Aku lebih memilih menenggelamkan wajahku ke lekukan tangan di atas meja.

Sangat menyentuh kulit. Bahkan menyentuh jantung. Menyentuh jantung lalu tiba-tiba ditarik dan diremas dengan paksa tanpa memperdulikan siapa pemilik jantung yang kesakitan. Hingga rasanya tidak berdetak lagi, saking sakitnya diremas.

Lalu menghempaskan sebuah guci porselain dengan tangan ke lantai dingin dengan sadar.

Mataku panas. Sejujurnya, aku tidak tahu apa-apa. Tapi rasa kacau balau yang tiba-tiba menyerangku membuatku berpikir, aku ingin menangis.



***

Hari ini update duaaaaaaa chaaapppttteeerrrr!!!

oiya, mau update All That Matters juga. Silahkan check di profil hewheww:)

BACKPACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang