dua puluh delapan

67 13 0
                                    


Abigail sedang melukis wajah maid-nya di sebuah kanvas berukuran 120 x 120. Dalam lukisan tersebut tampak senyuman yang memaksakan. Abigail sendiri malah terkikik geli karena lukisan yang dirinya buat cukup bagus untuk ukuran pemaksaan.

Tadi, Abigail meminta maid-nya yang datang ke kamar Abigail untuk menyiapkan pakaian pesta nanti malam, untuk menjadi model dalam lukisannya kali ini. Awalnya maid-nya menolak dengan alasan tidak sopan karena seorang puteri kerajaan melukis seorang rakyat jelata. Tapi Abigail tetap keukuh untuk melukis maidnya.

Sebagai bentuk permintaan maaf karena telah membentak.

Abigail melihat maid di depannya yang sedang ia lukis ini memiliki ketegaran hati. Apa yang sedang dilihat Abigail, awalanya dilihat dari mata Jason.

Saat Jason datang ke kamar Abigail dan seseorang mengetuk pintu. Dengan cepat Jason melangkah lebar menuju lemari besar milik Abigail dan memasukinya. Masih dapat dilihat melalui celah kecil saat maid ini masuk membawa nampan berisi buah-buahan untuk Abigail lukis nanti.

Abigail tampak memarahi maid tersebut karena jumlah anggur dalam satu tangkai itu jumlahnya hanya sebelas, padahal Abigail meminta anggur yang berjumlah dua belas. Maid tersebut menunduk merasa bersalah.

Jason yang melihat kejadian tersebut berpikiran dan beranggapan bahwa maid tersebut memang tulus melayani. Karena kemarin-kemarin saat beberapa maid yang salah membawakan sesuatu untuk Abigail dan berakhir dengan dimarahi Abigail, menggerutu saat Abigail lengah. Tapi untuk yang satu ini tidak.

Lantas, Jason keluar lemari sesaat setelah maid tersebut keluar.

Jason melipat tangan di depan dada. Abigail menatap Jason dengan tatapan bingung juga ragu. Jadi, Jason mengambil secarik kertas dan pena di meja.

Kau tidak akan suka dibentak. Begitu juga orang lain.

Keterkejutan dan mata berbinar takut Abigail membuat Jason sedikit merasa bersalah. Tapi Jason urung meminta maaf karena Abigail memang terlalu semena-mena, mengingat Abigail memang berada di kalangan atas.

Maid yang baru saja membawakanmu buah untuk kau lukis, tulus.

Kau bisa marah, tapi tidak seharusnya marah-marah.

Hanya beritahu dia untuk mengerjakan dengan baik.

Tidak perlu dengan emosi.

Abigail tersenyum. Jason yang mengajarkannya. Mengajarkan untuk tidak egois.

Kepala Abigail menyembul dari kanvas, melihat maid-nya yang terlihat lelah mematung.

"Terima kasih. Kamu bisa pergi. Nanti, aku akan memberikannya kepadamu."

Maid ini berdiri dan mengangguk hormat. Cepat-cepat keluar kalau-kalau dirinya disuruh untuk menjadi model lagi.

"Kemampuanmu kian membaik, Abs," puji Julius.

Abigail membalikkan tubuhnya ke belakang menghadap Julius. Julius sedang bersandar di pilar dengan kedua tangan yang dilipat. Sedari tadi Abigail melukis memang ditemani Julius. Mata teduh Julius kadang mengingatkan bagaimana baiknya orang itu, tapi juga garis wajahnya yang tegas, yang mengingatkan bagaimana cerdiknya orang itu membuat rencana.

Satu helaan napas Abigail cukup membuat hati Julius mencelus.

"Bandingkan dengan saat aku berusia sembilan tahun? It was so long time, Julius."

"Dengar." Julius menarik diri dari sandaran di pilar, berdiri dengan tegap di depan Abigail. "Kita sudah saling mengenal sejak berusia dua tahun."

Abigail menggigit bagian dalam pipinya. "Lalu?"

Sebelum Julius menjawab, dirinya menatap Abigail cukup lama. "Why don't we just get merried? We know each other, dan ... kita sudah dijodohkan."

Abigail termenung lama. Membuatnya berpikir apa yang kurang dari Julius sehingga bisa-bisanya Abigail lebih memilih Jason. Tidak ada. Seperti, semuanya takdir untuk tidak bersama Julius. Tapi, Abigail ingat kala umurnya menginjak tiga belas tahun, dirinya dan Julius berjanji akan menikah kelak dengan tawa di mulut masing-masing.

Menginjak usia delapan belas, Julius mulai disibukkan dengan latihan kepemimpinan. Mereka jadi jarang bertemu. Sekalinya bertemu hanya sebentar. Kadang, pengorbanan Julius tidak sebesar pengorbanan Abigail saat ingin bertemu satu sama lain. Seakan Julius benar-benar memprioritaskan tahtanya kelak.

Itulah yang membuat Abigail kembali berpikir. Itulah sebabnya Abigail lebih memilih Jason untuk setiap pengorbanan datang kemari. Ternyata ada, bukan tidak ada.

Jason dari abadnya yang ke dua puluh dua, datang ke abad Abigail di abad tujuh belas. Dia biasanya datang dengan celana jeans, kaos polos, dan alas sepatu. Selalu dengan mengorbankan waktunya. Karena Abigail tidak bisa pergi kepada Jason, jadi Abigail tidak melakukan apa-apa selain menunggunya datang.

Abigail tersentak, dikagetkan tangan Julius yang menepuk pucuk kepalanya.

"Abs, kamu terlalu lama berdiam."

Abigail tetap tidak menjawab pertanyan Julius untuk pertanyaan yang sama sebelumnya. seakan hatinya memerintah untuk menutup mulut, serta otaknya yang terhambat berpikir untuk mengelak pertanyaan tanpa menyakiti.

"I need your kiss."

Baru Abigail mendongak menatap Julius yang melihatnya terluka. Abigail tidak bisa berhenti mengeluh dalam hati. Tentang perasaannya yang sebenarnya masih ada untuk Julius, namun secara terang-terangan dan gamblang menamparnya ke dalam realita untuk menolak. Tentang Jason yang sudah mencuri hari sepi Abigail tanpa Julius.

"I really need."

Abigail tidak menjawab, tidak juga bergerak. Namun, Julius sudah berjongkok sopan di depan Abigail, menyentuh pipi wanita itu dengan lembut. Bahkan Abigail menutup mata, sama seperti saat Jason menyentuh pipi Abigail. Dalam rasa yang berbeda dari Jason, Abigail mendapat ciuman halus Julius.

Sama menggetarkannya dengan Jason.

Abigail tersenyum miris di sela ciumannya. Dirinya bingung.

BACKPACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang