tiga puluh satu

75 18 0
                                    

Abigail turun dari kuda, berurai air mata. Kakinya tanpa beralaskan kaki berlari menghampiri Jason.

"Bawa aku pergi, Jason!"

Jason menatap wajah Abigail dengan pias. Abigail yang selalu ceria di hadapannya memohon dengan tangisan yang berderai. Wajahnya memerah dan basah. Bibirnya bergetar menahan ledakan emosi yang membuncah. Hal ini membuat Jason diserang beribu perasaan bersalah.

Seharusnya dirinya tidak pernah terpikat pada mata violet itu saat bertemu di kerumunan pasar tradisional.

Harusnya dirinya tidak pernah datang kepada Abigail.

Tangan mungil Abigail menarik erat kemeja yang Jason gunakan. Rambutnya terurai berantakan, kini menutupi sebagian wajahnya karena Abigail yang bergerak gelisah sambil mengguncang-guncangkan tubuh Jason.

Akhirnya, tangan Jason yang bergerak untuk menghentikan Abigail yang kelabakan meminta kabur. Lantas, Jason memegang pipi Abigail. Rambut Abigail yang berantakan, Jason silakan ke belakang, diselipkan di telinganya.

Jason memberi tatapan; tenang, Abs.

Abigail menggeleng, masih menangis. "Bawa aku pergi, tolong! Aku ingin bersamamu!"

Tangan Jason memegang pipi Abigail kuat, menghentikan gelengan Abigail yang khawatir. Ditatapnya mata violet Abigail. Hal yang pertama kali membuat Jason terpikat akan pesona wanita ini. Mata yang menggambarkan kesepian dalam kerumunan banyak orang. Namun juga mata yang sarat akan cerita dunia dan imajinasi di kepalanya yang belum sempat terlontar. Mata yang membawa Jason ke dunia yang bukan miliknya.

Tangan kiri Jason masih memegang pipi Abigail. Sedangkan tangan kanannya merogoh kantung jeansnya. Mendapatkan ponselnya, lalu mengetikkan sesuatu di layar ponselnya.

Kamu hanya perlu tenang.

Abigail yang membaca tulisan di layar digital ponsel Justin menggeleng lagi. Matanya yang tadi melihat deretan tulisan di ponsel Justin, kini beralih melihat mata Jason.

"Ayah bilang, jika aku tidak bersama Julius, lebih baik aku diasingkan sampai aku mendapat panggilan untuk dihukum mati."

Getaran di bibirnya menandakan dia benar-benar takut akan keputusan ayahnya. Abigail berkata cepat, namun jelas. Jelas terdengar di telinga Jason. Jelas bahwa semua ini karena ulahnya yang membuat Abigail jatuh ke dalam pelukannya. Jelas sekali bahwa semua ini sudah sangat teramat salah.

Bahkan Jason nyaris terhuyung kalau dirinya benar-benar tidak kuat menopang. Beban yang selama ini Jason takutkan jatuh ke bahunya, akhirnya jatuh juga.

"Ayo, Jason! Bawa aku pergi!"

Jason tidak dapat mengucapkan kata apapun. Itulah yang pertama terjadi saat Jason berhasil menembus waktu, kembali ke abad tujuh belas sedangkan dirinya yang berada di abad dua puluh dua. Bahkan sampai saat ini, tidak ada yang bisa Justin ucapkan untuk perempuan di depannya yang sangat ia cintai ini.

Abigail menarik lengan Justin ke kuda yang ia bawa. Tapi, Jason terlalu besar untuk ditarik Abigail. Jason mematung, sedangkan Abigail menarik-narik tangan Jason sambil meraung meminta untuk segera meninggalkan tempat ini.

Jason berusaha sekuat tenaga mengeluarkan suaranya. Bisa dia rasakan, dorongan demi dorongan yang dilakukan membuahkan hasil. Meski terpenggal-penggal, Jason mencoba berbicara pada Abigail.

"Dengar ... kan ... aku." Jason berdehem keras. "Abigail."

Abigail terhentak. Tubuhnya yang memunggungi punggung Jason, sekarang berbalik melihat Jason. Meski matanya sembab dan merah, ada percikan bahagia saat mendengar suara Jason yang selalu dinantikan melodinya di telinga Abigail.

Tangan Abigail menyentuh lembut bibir Jason. Jason menutup mata, dirasakannya tangan Abigail yang lembut menjelajahi bibirnya.

"Dengar, Abs."

Rasa senang menyusup ke sela kesedihan yang Jason dan Abigail alami, keduanya bertatapan dengan harap cemas masing-masing.

"Aku mendengarkan."

Jason menarik tangan Abigail, menghentakkan tubuh mungil perempuan itu ke tubuhnya. Dipeluknya erat tubuh itu, seakan sungkan melepaskannya. Meski keadaan meminta untuk dilepaskan.

"Kamu harus kembali."

Kontan, Abigail memberontak dalam pelukan itu. Tapi, seperti biasa. Tubuh Abigail terlalu kecil untuk ukuran seorang Jason. Jason terus menahan Abigail agar berada di pelukannya. Untuk terakhir kalinya.

Kecemasan Abigail yang tadinya kian mengecil karena mendengar suara Jason untuk pertama kalinya terdengar di telinganya, kini membuncah kembali. Tidak terkira bagaimana perasaan Abigail mendengar apa yang baru saja dikatakan Jason.

"Kamu bilang, kamu akan mendengarkan, Abs."

Tangis yang tadi reda, kini mengalun kembali. Goresan di hatinya semakin melebar seiring ucapan demi ucapan yang Jason lontarkan.

"Kita belajar banyak hal tentang ketidak egoisan, Abs." Ada jeda sebentar. "Lebih baik mengorbankan satu-dua orang daripada mengorbankan seluruh bagian masyarakat dari kerajaanmu."

Abigail makin terisak. Terisak dalam diam. Benar-benar kelu untuk menyangah pernyataan Jason.

Jason melanjutkan, "lebih baik kita mengalah."

Abigail mengeratkan pelukannya kepada Jason, begitu pula Jason.

"Kamu mengenal kerajaanmu lebih dari pejabat-pejabat di istanamu, kamu mengenal seperti ayahmu mengenal mereka. Jika kamu pergi dan bersamaku, bagaimana keadaan kerajaanmu nanti?"

Setelah Jason mengucapkan semua itu, Abigail terdiam. Tidak lagi mengeluarkan air mata.

Dengan hati yang berantakan, mereka kembali. Dengan hati yang berantakan, Jason melepaskan Abigail. Dengan hati yang berantakan pula, Abigail melepaskan Jason.



***

Ini part yang paling gue suka seriussssss

BACKPACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang