Makanan di piring Justin masih penuh, belum tersentuh sama sekali. Padahal, semua piring di depan Justin sudah kosong bersih. Sudah satu jam berlalu. Sudah banyak rencana yang ditetapkan Scooter dengan beberapa rekan lainnya untuk album Justin mendatang. Tapi, satupun tidak ada yang Justin dengarkan.
Ketika Scooter menyenggol bahu Justin, barulah Justin sadar dari keterdiamannya. Matanya mengedip kaget.
"Jadi, bagaimana? Apa kau setuju, my boy?"
Justin mengusap wajahnya kasar dari bawah ke atas. Berlanjut menyisir rambutnya dengan buku-buku jarinya. Scooter yang melihat hal ini menyadari bahwa suasana hati Justin sedang buruk, bisa dibilang kacau.
Scooter tersenyum pada Justin, lalu menepuk bahu anak didiknya itu.
"Kalau kau lelah, kau bisa pulang. Semua bisa kita bicarakan di studio."
Justin menatap Scooter berterima kasih, yang dibalas dengan anggukan. Scooter selalu tahu bagaimana harus berbuat meski Justin tidak pernah sekalipun mengungkapkan isi hatinya belakangan ini. Jadi, Justin pamit pulang pada semua.
Sepanjang perjalanan di mobil, Justin agak sulit untuk fokus ke jalanan. Kepalanya masih terus memutar kilasan-kilasan dirinya dengan Aliena sepanjang Aliena ada. Semakin ingin dirinya melupakan, semakin teringat jelas bagaimana senyum Aliena yang mengisi hari-harinya.
"Life is so unfair," Justin bergumam.
Bibirnya menyunggingkan senyum pahit kala bibirnya menggumam kalimat barusan.
Bagaimana bisa dirinya jatuh cinta pada sesuatu yang memang sudah seharusnya tidak menjadi hak miliknya sendiri? Bagaimana bisa dirinya terjebak dengan keadaan mencintai, namun harus melepaskan? Bagaimana bisa dirinya melepaskan saat keduanya telah jatuh satu sama lain?
Bagaimana bisa semua terasa tidak adil baginya?
Ketika dirinya bisa melihat keluarganya hancur karena perceraian orang tuanya, dia juga harus melihat cerita hidupnya hacur karena menjaga hati untuk tidak egois.
Justin benar-benar merasa, hidup tidak adil.
Mata Justin membulat. Dengan panik, Justin mengerem mobilnya sampai-sampai decitan roda yang menggesek aspal terdengar nyaring.
Cepat-cepat Justin keluar dari mobilnya. Rasa panik menyergah dirinya ketika didapati seseorang tergeletak di jalan aspal. Justin menyimpuhkan kakinya, tangannya dengan kuat menggendong orang itu masuk ke mobilnya. Meletakkan di kursi penumpang.
Mobilnya ia lajukan ke tepi jalanan, menghindari kemacetan yang akan segera terjadi jika dirinya tidak menepikan mobil.
Justin berpindah posisi ke bangku penumpang. Ingin melihat bagaimana kondisi orang yang ia tabrak.
Kepala orang itu, Justin letakkan di pahanya. Orang itu masih sadar.
Ketika dilihat, jantungnya kehilangan kendali. Mata cokelat pekat yang menyimpan cerita untuk dibagikan kepada telinga yang siap mendengar. Wajah mungil yang pas dengan tubuhnya yang juga mungil ini mengingatkan Justin akan Aliena.
Sampai saat ini, Justin tidak tahu apa hidup benar-benar tidak adil. Tapi saat matanya menangkap senyum perempuan di matanya, Justin berjanji dengan sungguh-sungguh untuk memperjuangkan hidupnya lagi. Dia akan membuat hidupnya terasa adil meski dalam hal-hal kecil.
Perlahan, Justin mulai mengerti. Keadilan itu nyata. Ia hanya perlu memperjuangkan. Karena dirinyapun menyadari bahwa tidak akan ada pelangi jika tidak ada hujan.
Dirinya teringat saat dia berpikir di bisa menyatukan kepingan hatinya sendiri. Tapi di sisi lain, ia tahu bahwa dirinya tidak bisa. Akan ada saat dimana seseorang bisa menyatukannya.
Dilihatnya darah merembes di keningnya. Perempuan itu mendesis perih.
Justin menggenggam tangan perempuan ini.
"I'll bring you to the hospital," ucapnya, "I'll not giving up on you."
***
satu part lagiiiii yeahhh
KAMU SEDANG MEMBACA
BACKPACK
FanfictionJustin Bieber fan fiction Aliena mendongak menatapku. "You taught how to dream and how to love. Stay in my backpack. Forever." Aku mengucapkannya tanpa suara. Mungkin kalimat ini yang ada selain kalimat bahwa aku terluka olehnya. "My planet's outsi...