tiga puluh tiga-justin

88 17 2
                                    


Sudah dua jam aku duduk di jendela kamarku yang langsung menghadap ke belakang pekarangan rumah. Kaki kiriku berada di lantai sebagai tumpuan tubuh. Sedangkan kaki kanan yang aku angkat pada kusen jendela kugunakan sebagai alas untuk menulis. Kertas di atas kaki kananku masih bersih tanpa coretan. Juga pena di tangan kiriku yang masih baru, belum menyentuh kertas.

Bulan tampak tidak begitu besar, juga tidak begitu kecil. Terlihat mudah digapai dengan uluran tangan, tapi saat aku melihat telapak tanganku. Tidak ada bulan di sana. Aku menghela napas panjang. Mencoba meredam perasaan.

Pada akhirnya, aku menyerah.

Menyerah menuliskan lagu baru untuk single. Aku menyerah untuk dapat menggenggam tangan Aliena meski harusnya aku yang menggenggamnya.

Aku meremas kertas di tanganku dan membuangnya ke lantai. Tubuhku berjalan cepat ke tempat tidur.

Aku duduk termenung sebentar di tempat tidur sambil melipat tangan.

Aku menemukannya, memang sulit untuk untuk dipercayai. Kadang, sulit rasanya menghadapi kenyataan.

Sebelum berbaring di tempat tidur, aku melepas jaket dan kaos dari tubuhku, aku jugamelepas sepatu dan kaus kaki, juga melepaskan celana hingga tersisa boxer yang kukenakan.

Aku berbaring, menyelimuti diriku sendiri. Mataku menatap langit-langit kamar yang gelap tanpa nyalanya lampu.

Dia tidak sama seperti alat.

Aliena tidak bisa selamanya berada di tas punggungku. Tidak bisa selamanya menjadi seseorang yang bisa aku ajak kemana saja dan kugunakan sebagai pelarianku dalam segala kesedihan. Seseorang yang bisa membuatku tenang karena kehadirannya.

Awalnya hanya fraktur yang terjadi. Namun, benda retak itu terus digunakan, hingga itu lebih dari sebuah retakan.

Kepingan hatiku tidak utuh. Tidak semua ada sehingga tidak menjadi sempurna.

Kadang kala, ketika aku mencoba memperbaiki hatiku, bukannya semakin sempurna setiap hari, tapi tiba-tiba kepingan yang sudah disusun makin hancur.

Aku tidak tahu kemana harus mencari, atau bahkan kemana aku harus membeli. Ketika aku merasa hatiku utuh seutuh-utuhnya, di saat itu juga ada suatu peristiwa yang membuat hatiku hancur.

Aku menarik selimut lebih tinggi, tertinggal mata yang memandang sekeliling.

Aku masih merasa, dia masih terlihat nyata. Nyata saat aku masih bisa menyentuhnya. Tapi kini, semua tidak nyata. Saat-saat dimana aku menyentuhnya, perlahan terasa seperti sebuah ilusi. Seperti ... aku telah mempercayainya, dan apa yang kupercayai itu adalah sebuah kebohongan besar.

Aku perlu mencari tahu apa arti dari kata keadilan. Tapi aku takut. Makin aku mencari, makin aku hancur remuk.

Mataku yang sudah panas sedari tadi, kubiarkan mengaburkan pandanganku. Kaca dimataku sudah retak sebelum aku meminta dan membiarkannya. Dan sekarang, aku membiarkannya pecah. Jatuh berserak berantakan membasahi wajahku.

Aku merasa lemah. Di sisi lain, aku merasa sebagai orang yang kuat karena bisa sampai di waktu ini. Aku sampai di detik ini juga. Aku sudah melewati semua hal yang tidak ingin kulakui.

Aku tersenyum dengan irisan pisau yang masih menggores-gores. Aku menutup mata. Nafasku kuatur setenang mungkin. Otakku berusaha tidak memikirkan apapun selain ketenangan yang bisa kudapat.

Setelah memasuki menit kelima, aku melipat tangan di depan dada. Nafasku yang mengalun, perlahan mulai teratur.

Masih menutup mata, aku mengingat bibirnya yang tersenyum manis. Yang terlihat seperti sebuah acara televisi yang tidak pernah akan kutinggalkan tiap detik adegannya. Suaranya yang baru saja kudengar terdengar seperti soundtrack di setiap musim. Dan mata violet yang selalu memikat hati, yang membuatku tidak bisa lepas memandangi tiap perpaduan warna saat diterpa sinar matahari.

Diterpa sinar matahari ... matahari ... bunga matahari ...

"Aku ingin kamu menjadi bunga matahari dan aku sebagai matahari untukmu."

Aku kembali tersenyum miris, sambil berdoa pada Tuhan.

Aku berdoa padaNya, semua yang telah terjadi pada diriku, pada Aliena dan pada Niall, biarlah berlalu. Aku meminta untuk segala yang terbaik yang bisa kami lalui. Aku membiarkan apa yang menjadi kehendakNya biarlah terjadi dalam hidup kami. Aku melepaskannya. Aku percaya, segala sesuatu akan indah pada waktunya.

Aku mengucap, "Jadilah segala sesuatunya sesuai kehendakMU, Bapa."

Jauh di lubuk hatiku, aku mengaminkan.

Sebelum aku terlelap malam ini, aku tahu. Di detik ini juga, Aliena telah pergi. Pergi bersama takdirnya yang selama ini ia nantikan.

Pula bersama hatiku.

My sunflower.



***

pokoknya part part yang hampir di ending gue sukaaaaaa love love love

BACKPACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang