Bagaimana mungkin gadis di depanku ini memiliki bola mata yang indah. Warna violet. Baru kali ini aku melihatnya.
Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya secara perlahan lewat mulut. Kepalak dan tubuhku bersandar pada kusen jendela kamar. Tepat di depan jendela kamar, terpampang jelas pemandangan taman belakang rumah yang sangat luas.
Ada banyak bunga karena mommy sangat hobi berkebun, ada kolam ikan kecil dengan pancuran berbentuk cupid yang di tengah rumpun bunga tulip. Ada tempat yang memang sengaja dibuat untuk semacam meeting room dengan suasana alam.
Ada juga ayunan, dengan seseorang yang sedang duduk disana. Kedua tangannya mencengkeram erat rantai pengayun. Rambutnya yang berwarna cokelat terang terhembus angin. Piyama merah muda besar yang ia kenakan membuat tubuhnya yang mungil terlihat tenggelam.
Dia manis. Apalagi saat bibirnya melengkungkan senyum, tepat saat matanya melihat deretan gambar di dalam album yang ia ambil di perpustakaan mini di ruang tengah. Dia mengambil buku bersampul merah dengan gambar mawar. Album foto semasa kecilku.
Pipiku panas sekali rasanya.
Aku mengerjap saat orang yang sudah kuanggap sebagai saudara ini meremas bahuku. Niall. Dia sahabat kecil yang kehilangan kedua orang tuanya saat kecil. Maka dari itu, mommy mengangkatnya jadi anak. Niall tersenyum, lalu matanya beralih menatap gadis yang masih duduk manis di ayunan.
"Ada apa?" aku bertanya.
"Gadis itu ... dia manis."
Aku menangkap nada kekaguman di dalam kalimatnya. Terdengar tulus dan benar-benar kagum. Aku memasang wajah datar, beberapa detik kemudian tersenyum saat melihat gadis itu tersenyum untuk kesekian kalinya.
"Dia memang manis," aku menjawab pelan.
Niall beralih, membuat mataku ikut beralih menatapnya berjalan. Niall memilih duduk di tepi tempat tidur, mengambil ponselku lalu menunjukkan ke atas bermaksud ingin meminjam. Aku mengiyakan.
"Kau tahu, Justin? Sepertinya dia tidak bisa mendengar atau berbicara."
Aku mengernyit tidak suka, argumen macam apa itu?
"Dia diam bukan berarti begitu, mungkin dia malu," aku mencoba melakukan pembelaan.
"Dia diam terus menerus, saat aku memanggilnya, dia tidak berpaling. Kau tidak berniat memanggilkan dokter untuknya?"
"Hal semacam itu tidak perlu," aku mengendikkan bahu, "kita akan tahu nanti."
"Iya, mungkin."
Aku kembali memusatkan perhatianku pada gadis disana. Sekarang, album fotoku sudah ditutup dan ada di pangkuannya. Gadis itu memilih menatap sekeliling, seperti menikmati.
"Justin ... sepertinya dia butuh nama."
Untuk beberapa saat, aku terdiam memikirkan kalimat Niall barusan. Nama ya? Sepertinya memang diperlukan. Takut-takut kalau gadis itu hilang ingatan. Siapa? Britta, Jessie, Sarah, Michele?
Tunggu. Aku suka Al--Aliena.
Sepertinya cocok.
KAMU SEDANG MEMBACA
BACKPACK
FanfictionJustin Bieber fan fiction Aliena mendongak menatapku. "You taught how to dream and how to love. Stay in my backpack. Forever." Aku mengucapkannya tanpa suara. Mungkin kalimat ini yang ada selain kalimat bahwa aku terluka olehnya. "My planet's outsi...