dua puluh

110 18 2
                                    

"Ayah, aku mohon."

Setiap hati yang melihat ikut merasakan pilu. Abigail terisak bersimpuh di depan tahta besar ayahnya. Sedangkah ayahnya duduk di tahtanya, menahan rasa iba yang memenuhi dada.

"Putriku, aku tidak akan pernah mengizinkan."

Terdengar lembut ungkapan itu, namun juga tegas.

"Apa perbedaan yang membuat kami tidak dapat bersatu?" isak Abigail. "Aku menyadari, dia untukku."

"Abs, tolong jangan menangis."

Ayahnya berdiri, menunduk untuk mengusap kepala anak semata wayangnya yang tercinta.

"Ayah tidak ingin kau pergi. Sudah cukup ibumu yang meninggal."

"Kumohon, Ayah. Aku telah menabur abu atasku. Aku sudah cukup rendah, Ayah."

Abigail bersungkur di lantai sampai wajahnya ke tanah. Tubuhnya tetap bergetar karena isakan yang tak kunjung reda.

"Seharusnya kau bersama Julius, karena memang seharusnya begitu. Patuhilah apa yang memang menjadi perintah."

August, ayah Abigail menyebut nama putra sulung dari kawan lamanya yang berada di seberang kerajaan.

"Apa dampak jika aku tidak mematuhinya, Ayah? Jika hanya aku harus dikucilkan dan pergi, aku akan, Ayah," Abigail menjawab dengan wajah yang masih tersungkur.

"Tidak akan ada yang memerintah di sini selain kau, Abs. Jauhlah hal itu dari padaku!"

"Ayah..."

"Sebab siapa yang menghormati aku, akan kuhormati, tetapi siapa yang menghina aku, akan dipandang rendah."

Kala itu Abigail tersungkur dengan diam. Berikut mulutnya menyayikan Kidung Agung dengan hati yang berantakan.

Aku tidur, tetapi hatiku bangun.
Dengarlah, kekasihku mengetuk.
"Bukalah pintu, dinda, manisku, merpatiku, idam-idamanku, karena kepalaku penuh embun, dan rambutku penuh tetesan embun malam!"
"Bajuku telah kutanggalkan, apakah aku akan mengenakannya lagi?
Kakiku telah kubasuh, apakah aku akan mengotorkannya pula?"
Kekasihku memasukkan tangannya melalui lobang pintu, berdebar-debarlah hatiku.
Aku bangun untuk membuka pintu bagi kekasihku, tanganku bertetesan mur;
bertetesan cairan mur jari-jariku pada pegangan kancing pintu.
Kekasihku kubukakan pintu, tetapi kekasihku sudah pergi, lenyap.
Seperti pingsan aku ketika ia menghilang.
Kucari dia, tetapi tak kutemui, kupanggil, tetapi tak disahutnya.
Aku ditemui peronda-peronda kota, dipukulinya aku, dilukainya, selendangku dirampas oleh penjaga-penjaga tembok.
Kusumpahi kamu, puteri-puteri Yerusalem:
bila kamu menemukan kekasihku, apakah yang akan kamu katakan kepadanya?
Katakanlah, bahwa sakit asmara aku!

Abigail mendongakkan kepala. Tampak wajah yang berantakan. Wajah yang sama basahnya dengan mata. Merahnya wajah yang sama dengan mata. Rambut yang tersusun rapi, kini melonggar, sehingga anak-anak rambutnya berjatuhan mengenai dahi maupun pipinya.

"Apa guna usaha tanpa hasil, Abs? Berhentilah, sebab tidak akan ada hasil," ucap August pilu.

"Ada tertulis dalam Mikha: Karena inilah aku hendak berkeluh kesah dan meratap, hendak berjalan dengan tidak berkasut dan telanjang, hendak melolong seperti serigala dan meraung seperti burung unta."

Abigail menjawab. Lalu melangkah mundur, keluar ruangan menyeret diri sambil tertunduk menghormati raja.

Dia keluar, karena bagian dari hatinya menunggu di luar.

...

Pagiiihhh mwah mwah

BACKPACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang