Chapter 29 - Against The Undead

9.8K 728 72
                                    

Semenjak Zveon melintasi kawasan Hutan Tallon yang dipenuhi dahan-dahan pohon sekeras duri, dan Zveon menyambut duri-duri itu dengan tebasan pedang hingga runtuh, ia seakan ditelan oleh kegelapan. Ia tak bisa lagi melihat cakrawala langit sore, dan kegelapan di sekitarnya terasa seperti kabut hitam yang menyesakkan. Kakinya berjalan waspada agar ia tidak menusukkan dirinya sendiri pada cabang pohon yang bercuatan seakan menawarkan kematian padanya. Dan ia terus melangkah, membiarkan dirinya sendiri tertarik oleh naluri dan insting, seperti gravitasi dalam lubang hitam. Kegelapan memang bukan sesuatu yang asing baginya. Tetapi ia rindu dengan cahaya yang kini semakin asing. Jika Ziella ada di sini, berkas sinar yang memancar lembut dari helaian rambutnya mungkin akan mengurangi kesan menyeramkan Hutan Tallon di sekitarnya, menjadi sebuah kedipan bintang mungil dalam gelapnya malam.

Zveon tidak pernah menginginkan dirinya menjadi seorang vampir, namun kali ini ia beruntung karena ia dapat mengandalkan penglihatan tajamnya. Ia terkadang ceroboh karena setangkai duri berhasil mengenai siku dan betisnya hingga pakaiannya robek dan ia berdarah. Pendengarannya juga menangkap suara angin kencang yang terpecah oleh turbulensi duri-duri tajam hingga angin itu seakan berteriak parau, menghembus kasar di segala arah, membawa sengatan suhu dingin yang menggetarkan tulang, sekalipun itu tidak membuat Zveon lemah. Tanah di kakinya penuh dengan batang pohon yang tergeletak, dan akar-akar gigantik yang melingkar ke sana kemari, dan begitu ia akhirnya menemukan tanah yang datar, permukaannya retak seperti kaca yang pecah.

Selagi ia terus mengayunkan pedang, dan ototnya terus berkontraksi, ia heran dengan kekuatan tubuhnya sendiri. Sepanjang hari ia bertarung di Bukit Seford, melancarkan serangan fisik maupun lontaran sihir, sebelumnya ia mengendarai naganya semalaman penuh, dan ia menempuh perjalanan yang tidak dekat ke Hutan Tallon, mendapati staminanya masih utuh, seperti api yang terus berkobar meskipun telah diterjang angin topan berkali-kali. Meski ia berdarah akibat goresan dahan yang seperti cakar, itu sama sekali tak menyakitkannya. Anna benar, ia memang merasa seperti telah dibangkitkan kembali dari kematian yang singkat. Pedang Darcy menembus jauh dari kulitnya, dan ia seperti mati rasa ketika membiarkan vampir licik itu beranjak dari tempatnya terpuruk di tanah, lenyap bersama kegelapan. Setelah itu, Zveon merasa ia berada dalam kehampaan yang cukup mengintimidasi. Lalu sesuatu yang lembut menyapu bibirnya; bibir Ziella, yang entah dikiranya itulah rasanya mengecup kelopak bunga mawar yang mulus, atau mengecup kehangatan matahari di pagi hari, atau mengecup rantaian sihir yang menggelenyar di seluruh tubuhnya. Namun, itu bukan kelopak bunga mawar yang diciumnya, bukan juga kehangatan sinar matahari ataupun rantaian sihir. Itu Ziella. Tapi, seperti itulah rasanya. Bibir Ziella terasa halus, hangat, dan ajaib. Gairah yang singkat itu memindahkan luka yang menggerogoti nyawanya, langsung ke tubuh Ziella. Zveon ingat ketika darah merembes melalui pakaian Ziella, membasahi tubuhnya, menggenangi lantai, melicinkan langkah kaki Ziella sendiri, dan ia ingat ketika Ziella merintih karenanya.

Dan di sinilah ia, maju berperang seakan-akan ialah yang satu-satunya memiliki sifat heroik. Zveon merasa dirinya sudah cukup angkuh, dapat nyaris meninggalkan Ziella dalam kondisi seperti itu. Apa yang dipikirkannya? Ziella telah menyelamatkan nyawanya. Dan yang dipikirkannya hanya Darcy—bahwa ia belum mati, bahwa ia berada di suatu tempat di luar sana, dan Zveon harus membunuhnya. Zveon tidak peduli sekalipun semua orang pernah menyaksikan ketidakberdayaannya yang terbaring lemah di meja operasi. Ia tidak peduli, ia tidak mengakui kekalahannya. Ia menganggap Darcy bedebah yang beruntung.

Aku ini monster yang egois.

Zveon yakin ia akan menembus hutan ini tidak lama lagi, namun ia berhenti menebas untuk beberapa saat. Ia menarik napas terengah-engah karena udara semakin pekat baginya, sedangkan emosinya semakin meletup.

Rambut Ziella adalah guratan senja yang memancar lembut, dan berkas cahaya itu menghilangkan kegelapan yang menjadi bagian dari diri Zveon. Walaupun sama sekali tidak mirip, hutan ini mengingatkannya dengan hutan tempat ia melatih Ziella untuk yang pertama kalinya. Ia ingat ketika seekor monster bergigi runcing mengoyak tangan mulus Ziella, itu juga salahnya. Ia lalai menjaganya, menjaga gadis peri yang dengan rambut seperti senja yang bergejolak. Ia lalai. Ia lalai menjaga gadis yang pancaran matanya menyapu kegelapan yang menjadi bagian dari dirinya. Dan Ziella tulus ingin melindunginya, ia tidak merasa bahwa ia berhak mendapatkannya. Rambut Ziella selalu menghangatkan jiwanya yang dingin, oranye yang terlalu lembut untuk disebut bara api. Dan matanya—sorot tulusnya. Ia tidak berhak itu semua.

Dark and Light (Wattys 2016 Winner)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang