Kelopak mataku terangkat seiring dengan terbitnya fajar, cahayanya yang hangat menyertai gilap lembut rambut oranyeku. Seronok cerahnya pagi membangunkan lelap para makhluk, termasuk burung-burung yang mulai berkicau giat dari jendela kamarku yang kubiarkan terbuka. Ngiang irama waltz semalam masih terlantun dalam pikiranku, seakan aku baru terbangun dari mimpi yang paling indah. Aku menguap, mengusap kedua mataku, sekejap aku mengangkat jemariku yang terasa lebih berat—sebuah cincin bertakhtakan permata merah darah terpasang di jari manisku, menambah centil tangan mungilku. Saat itulah aku tersadar bahwa semalam bukanlah mimpi—tapi keajaiban yang nyata.
Ratna semerah darah itu seakan menatap tajam padaku, kilaunya mengubah cahaya oranyeku menjadi sorot yang elegan. Degup Quartz dalam dadaku bertambah cepat, dapat kubayangkan pesona Pangeran Kegelapan, sang pemberi berlian manis itu. Aku mengelus cincin itu dengan jemari tanganku yang satunya, dingin terbersit di kulitku. Seulas senyum terbentuk di bibirku. Cincin ini seperti cerminan wujudnya.
"Aku akan selalu menyimpannya," gumamku sambil menggenggam erat kedua tanganku di dada, seakan mendekap barang yang paling berharga bagiku saat ini. Kusibak selimut wol yang hangat ke samping, beranjak turun dari ranjang istana yang nyaman. Aku memijak lantai dingin, masih merasakan ngilu karena sepatu hak yang kupakai semalam. Senyumku melebar. Semua itu bukan mimpi.
Setelah aku membersihkan diri, mataku menyapu ruangan kamarku dengan perabotan berkelas itu. Kicauan burung yang tadinya beralun tak lagi terdengar riuh. Sorot cerah mentari menunjukkan berkas partikel kecil yang menari-nari di udara, berkelip di penjuru ruangan, sebagian karena cahaya oranyeku. Pahatan dinding yang klasik, kandelir, sofa beludru empuk serta meja-meja dari emas, segala yang tak pernah kupunya, menjadi pangan panca inderaku setiap harinya. Kelopak mataku setengah tertutup, tak lagi menunjukkan sirat terpana karena kekagumanku terhadap mewahnya istana ini telah usang, dan bersamaan dengan itu, sesuatu yang menjadi bagian dari diriku menghilang entah ke mana.
Aku rindu rumah.
Aku rindu perabotan sederhana yang hanya terbuat dari kayu jati, rindu alas kayu yang sesekali bergerat ketika kupijak, dapur sederhana dengan peralatan makan gerabah untuk dua orang, meja makan beralas taplak anyaman bambu, balkon dengan genteng liat yang rapuh tempatku meratapi angkasa Noreville.
Aku melangkah ke arah jendela, melipat tanganku di pinggirannya sambil menyipitkan mataku melawan terik surya. Sebuah kota ramai terpampang megah dari balik bebukitan yang berkelok.
Aku rindu kebun tempatku biasa bercocok tanam, menyelipkan bibit jagung pada tanah gembur yang kerap mebuahkan rejeki di halaman rumahku. Senyum yang tadinya terjelma di bibirku semakin surut.
Aku rindu ... George.
Aku mengerutkan alisku, bernapas sedu. Kakakku itu. Aku baru ingat ia belum membalas suratnya terakhir kali. Aku mengingat-ingat kembali ketika aku pertama kali meninggalkan Noreville. Sudah lebih dari dua minggu sekarang. Tetapi terasa seperti berbulan-bulan.
Mataku memejam, dan alih-alih melihat kegelapan, sinar kehijauan tergolak lembut dari memori yang makin membelitku.
"Nona muda, semua orang menunggu Nona di bawah." Suara Denna terdengar dari balik pintu. Aku cepat-cepat berpaling untuk menyahutnya.
"Iya."
*
Saudara-saudari kegelapan itu memandangku dengan paras hangat. Zveon berdiri begitu aku hendak bergabung dengan mereka di meja panjang itu, membungkuk sopan ke arahku. Aku terperangah ketika paras elok itu mengulas senyum lembut, penuh arti kepadaku, sementara ia menegapkan punggungnya kembali dan memandangku dengan iris merah kelamnya, begitu berseri. Aku mengangguk terpana padanya seraya mengikuti gerakannya duduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark and Light (Wattys 2016 Winner)
FantasyPemenang Wattys Award 2016 @WattysID kategori Cerita Unik / Trailblazers. ROMANCE - FANTASY - ACTION - ADVENTURE *** Ziella dan kakaknya, George, adalah spesies Hellbender yang terakhir. Para penyihir telah memburu spesies mereka, hingga kini...