Kami mendarat di atas landasan naga-naga di halaman istana. Aku menghela napas lega begitu wajahku berhenti terkena tamparan angin malam yang menusuk ketika naga-naga kami menyungkum tanah untuk menurunkan kami. Stella meloncat lincah dari naga merahnya, dan Pangeran Zveon pun beringsut mendahuluiku di tanah.
Ia mendongak, menatapku dengan silau irisnya yang semerah lava. Tangan kanannya terulur ke arahku untuk membantuku turun. Dari arah ini, aku dapat melihat wajahnya yang pucat dengan ekspresi tajam. Ketika aku menggapai tangannya, dinginnya kembali menjalar, dan aku menyambutnya penuh damba.
Stella sudah mendahului kami ke dalam istana yang sebagian lampunya telah padam. Kami mengikutinya hingga bersatu dalam temaram istana itu, walau cahaya rambut oranyeku benderang hingga membuatku sangat mencolok.
Stella berhenti berjalan. Ia berdiri diam membelakangi kami dengan gestur yang lesu. "Zveon," katanya kemudian. "jadi ... bagaimana Noola tadi?"
Pangeran Zveon nampak terperangah. Kilatan mata merahnya bergetar karena tragedi yang baru menimpanya. Aku hanya menatapnya khawatir karena aku tahu Stella tidak tahu apa-apa tentang Noola.
Stella berbalik badan, sejenak aku menangkap setitik rasa gundah di mata kristal violetnya. "Bukankah kau tadi sempat berdua dengannya di kamar? Aku yakin itu amat membuatnya merasa lebih baik, kan?" tanya Stella lagi. Tetapi ekspresi Pangeran Zveon makin terlihat gelisah. Pangeran Zveon hanya menghela napas dan menutup matanya.
Noola menyambar lehernya, percikan darah semerah mawar merembes keluar.
"Bukankah ini yang kau inginkan, Zveon? Tidak apa-apa, aku rela. Kumohon, hisaplah. Jika itu akhirnya dapat membuatmu menginginkanku, aku amat rela."
"Benar," Karena tak tahan, aku yang menjawabnya. Sedikit rasa pedih merayap di hatiku karena perlakuan Noola yang tak mungkin akan kuceritakan pada Stella. Pangeran Zveon menatapku sekilas. "Aku tadi sempat menemuinya. Ia sudah merasa sangat baik."
Pangeran terlihat terkejut, dan matanya terbelalak, seakan-akan ia mengatakan 'benarkah?' dari pandangannya. Aku mengangguk padanya sambil tersenyum tipis.
Stella hanya tersenyum masam, kembali mengalihkan pandangannya. Aku yakin, ada segelintir perasaan kecewa pada diri putri kegelapan itu, terutama setelah ia bermaksud untuk menjenguk Noola, tetapi seakan dicampakkan. "Jika itu dapat membuatnya lebih baik, aku bersyukur." Stella pun melangkah menjauh ke arah tangga.
"Stella..." Pangeran Zveon memanggilnya dengan prihatin.
Stella menghela napas sambil menyibakkan rambutnya. "Lain kali jika ia sakit, kau saja yang menjenguknya. Aku sudah muak dengan tingkahnya."
Stella terus berjalan, suara langkah sepatunya bergema ketika ia menapaki tangga. Pangeran Zveon kembali menghela napas. Ia terlihat ingin menegur perkataan adiknya namun tak sanggup melakukannya. Apakah Pangeran juga merasa muak dengan Noola? pikirku ragu.
"Pangeran ... sudahlah." Aku menenangkannya yang kembali tenggelam dalam lamunan. "Sudah tidak apa-apa sekarang."
Pangeran Zveon menatapku dengan senyuman lembut, dan ia mengangguk. "Ziella, boleh aku mengantarmu ke kamarmu?"
Aku tertegun hingga seberkas rona merah menyapu wajahku. Sorot mata Pangeran yang membara itu kembali mengingatkanku pada pernyataannya beberapa saat yang lalu. Quartz-ku kembali berdegup kencang, dan aku mengalihkan pandanganku darinya tiba-tiba karena merasa sangat tersipu.
Aku tak pernah benar-benar memikirkan jawabanku ketika ia bertanya padaku jika aku menyukainya. "Iya," itu yang kukatakan. Tetapi apakah aku benar-benar memikirkannya? Begitu aku mengingat kembali perasaan yang selama ini bersemayam dalam memori tentangnya yang melilit pikiranku, jawaban itu makin terasa valid. Khususnya ketika ia mengatakan bahwa ia mencintaiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark and Light (Wattys 2016 Winner)
FantasyPemenang Wattys Award 2016 @WattysID kategori Cerita Unik / Trailblazers. ROMANCE - FANTASY - ACTION - ADVENTURE *** Ziella dan kakaknya, George, adalah spesies Hellbender yang terakhir. Para penyihir telah memburu spesies mereka, hingga kini...