Di bawah bulan purnama dengan sinar benderang, rombongan Putra Mahkota akhirnya tiba di istana. Kasim Lee, kasim milik Putra Mahkota yang berada di depan rombongan menyuruh semua pegawai dan dayang istana untuk tutup mulut mengenai kejadian mengerikan yang terjadi.
Kasim Lee segera menyuruh pengawal pribadi Putra Mahkota untuk membuka tandu dan membopongnya ke dalam kediamannya sementara sang Putra Mahkota hanya bisa meringis menahan sakitnya, dengan mencoba untuk tidak mengeluarkan suara dari mulutnya.
"Mama."
Yeri yang tengah mengikuti Putra Mahkota ke istanannya segera berhenti begitu Kasim Lee mencegat jalannya.
"Anda tidak boleh mengikuti Wangseja (Putra Mahkota)." katanya sambil menunduk.
Yeri meringis, tidak bolehkah ia menjenguk suaminya yang sedang kesakitan saat ini? "Apa maksudmu, Kasim Lee? Kau berani menghalangi istri Putra Mahkota untuk menjenguk suaminya sendiri?!" geram Yeri, sesekali melirik ke arah suaminya yang semakin menjauh dari pandangannya.
"Mama, ampuni hamba, tapi Mama harus segera kembali ke kediaman Mama. Harap memahami kondisi Wangseja, Mama. Beliau harus segera beristirahat setelah tabib datang."
"Kasim Lee, aku hanya ingin melihat kondisi Jeoha."
Kasim Lee menunduk kembali, tak berniat untuk berhenti menghentika usaha Putri Mahkota yang ingin sekali menengok Putra Mahkota yang saat ini sudah menghilang dari pandangannya. "Anda tidak boleh keluar dari kediaman anda pada larut malam begini. Anda bisa menjenguk keadaan Wangseja keesokan harinya."
Yeri meremas tangannya sendiri karena tidak tahan dengan perlakuan Kasim Lee. Namun akhirnya ia menyerah dan segera membalikkan badannya untuk keluar dari kediaman Putra Mahkota bersama para dayang yang setia mengikuti di belakangnya.
Kasim Lee masuk ke ruangan bersama seorang tabib dan dua orang perawat yang tengah membawa baskon aluminum berisi air bersih, kain, dan beberapa orbat herbal yang akan ditempelken pada bekas luka tembak.
Mereka bersiap untuk mengobati Putra Mahkota yang tengah meringis kesakitan memegang lengan kirinya yang telah bersimbah darah. Bahkan Kasim Lee yang berdiri agak jauh dari keberadaan Putra Mahkota ikut meringis melihat penderitaan Putra Mahkota, seakan-akan ikut merasakan sakitnya.
Setelah tabib dan perawat selesai dengan tugasnya, Kasim Lee segera mendekati tabib dan memberitahu bahwa jangan sampai berita tentang penembakan Putra Mahkota ini diketahui oleh istana dalam maupun rakyat Joseon.
Pintu tertutup dan hanya menyisakan sang Putra Mahkota bersama Kasim Lee dan pengawal pribadinya yang duduk di pojok ruangan, siap sedia bila saja terjadi penyerangan pada Putra Mahkota.
"Apakah Wangsejabin (Putri Mahkota) sudah pergi?" kata Minho pelan begitu luka di lengannya tak terasa sakit seperti tadi.
"Ye, Jeoha. Hamba telah menyampaikan pada beliau untuk pulang ke kediamannya dan menjenguk anda besok pagi."
Setelah Putra Mahkota mengangguk tanda ia lega bahwa istrinya tak berada di sini, tak disangka sang kasim mengeluarkan secarik kertas yang diikat menggunakan tali berawarna merah ke atas meja di depan Putra Mahkota.
"Apa ini?" tanya Minho tajam.
"Hamba mendapatkan ini dari seorang dayang dan mengatakan surat ini ditujukan oleh anda."
Putra Mahkota melirik ke arah tulisan luar dengan hanzi (tulisan Cina-pada jaman dulu orang Joseon menggunakan tulisan Cina sebelum hangul ditemukan, dan keberadaan tulisan ini hanya dapat dipelajari olek kaum menengah ke atas sedangkan hangul untuk semua kasta) di permukaan luar kertas itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Joseon Princess✔
Historical Fiction"Naga emas yang memeluk bulan akan menimbulkan bencana, pada bulan itu sendiri. Ketika bulan terus berada dekat dengan matahari, bulan akan menjadi merah, semerah darah. Bulan itu, berada dalam bahaya." *** Dinasti Joseon, 1789 ...